Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
Pendahuluan
INDRAMAYU — Kemajuan neurosains modern telah menyingkap dimensi baru dalam studi kesadaran dan pengalaman religius. Beberapa ilmuwan berupaya memetakan aktivitas otak yang terjadi saat seseorang berdoa, bermeditasi, atau mengalami ekstasi spiritual. Namun, hasil penelitian sering kali menimbulkan perdebatan antara interpretasi materialistik dan interpretasi spiritualistik atas realitas yang sama.
Salah satu area yang kerap menjadi sorotan adalah lobus parietalis, bagian otak yang berperan dalam integrasi sensorik, orientasi ruang, dan persepsi diri. Aktivitas di wilayah ini dikaitkan dengan rasa keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri — pengalaman yang oleh sebagian ilmuwan disebut sebagai transcendent awareness (Newberg dan d’Aquili 2001, 118).
Eksperimen dan Temuan
Seorang pakar neurosains yang berpandangan ateistik melakukan penelitian menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI) generasi terbaru untuk mengamati aktivitas otak individu beragama ketika mereka berdoa dalam dua keadaan: sehat dan sakit.
Hasil pemindaian menunjukkan bahwa lobus parietalis menunjukkan peningkatan aktivitas signifikan ketika subjek berdoa dalam kondisi sakit atau tertekan. Dalam keadaan sehat, aktivitas tersebut menurun. Peneliti kemudian menafsirkan bahwa pengalaman religius muncul karena kelemahan fisiologis dan ketergantungan emosional manusia. Ia menyimpulkan bahwa Tuhan hanyalah hasil aktivitas saraf yang berkembang untuk menenangkan pikiran di saat penderitaan — suatu bentuk ilusi biologis (Ramachandran dan Blakeslee 1998, 173).
Interpretasi Teologis: Perspektif Islam
Dalam pandangan Islam, fenomena ini justru dianggap sebagai penegasan akan fitrah manusia yang cenderung kembali kepada Tuhan dalam kondisi sempit maupun lapang. Al-Qur’an menegaskan:
وَإِذَا مَسَّ الْإِنسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنبِهِ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَائِمًا فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ كَأَن لَّمْ يَدْعُنَا إِلَىٰ ضُرٍّ مَّسَّهُ
“Dan apabila manusia ditimpa bahaya, ia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri; tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia kembali (lupa seolah tidak pernah berdoa kepada Kami untuk menghilangkan bahaya yang telah menimpanya)…”
(QS. Yunus [10]: 12)
Menurut Al-Ṭabarī, ayat ini menggambarkan tabiat dasar manusia yang baru menyadari kelemahannya di hadapan Allah ketika tertimpa musibah (Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, jilid 15, 220). Al-Rāzī menambahkan bahwa peristiwa ini bukan sekadar kelemahan psikologis, melainkan tanda bahwa ruh manusia memiliki kecenderungan asasi menuju Tuhan, karena sumber kesadarannya berasal dari-Nya (Mafātīḥ al-Ghayb, 1990, 235).
Dalam tafsir modern, Sayyid Quthb memaknai ayat ini sebagai bukti kehadiran fitrah yang tidak pernah padam. Ketika manusia berada dalam kesempitan, segala lapisan ego dan rasionalitas runtuh, menyisakan “inti keberagamaan” yang paling jujur, yakni kesadaran eksistensial di hadapan Allah (Quthb, Fī Ẓilāl al-Qur’ān, 1985, 1634).
Dialog antara Neurosains dan Spiritualitas
Hasil MRI yang memperlihatkan lobus parietalis “bersinar terang” ketika seseorang berdoa dalam keadaan sakit dapat dibaca dari dua paradigma:
1.Paradigma Materialistik – Kesadaran religius dipahami sebagai produk otak; aktivitas neuron pada lobus parietalis hanya cerminan kebutuhan psikologis manusia.
2.Paradigma Teistik – Aktivitas tersebut justru menandakan keterhubungan antara struktur biologis manusia dan fitrah ruhaniah yang Allah tanamkan dalam dirinya.
Pendekatan neurotheology, sebagaimana diperkenalkan oleh Andrew Newberg, berusaha menjembatani kedua perspektif ini. Menurutnya, aktivitas otak yang muncul dalam doa atau meditasi tidak membatalkan realitas spiritual, tetapi menunjukkan bahwa otak diciptakan untuk mengalami Tuhan (Newberg 2010, 43).
Dengan demikian, meningkatnya aktivitas pada lobus parietalis bukan sekadar “refleks kesakitan”, melainkan manifestasi biologis dari kesadaran transendental yang inheren pada diri manusia. Dalam terminologi teologis Islam, inilah fungsi qalb — pusat kesadaran yang bukan sekadar otak biologis, melainkan jembatan antara dimensi fisik dan ruhani.
Penutup
Fenomena yang sama dapat melahirkan penafsiran yang berbeda. Seorang ateis melihat cahaya pada lobus parietalis sebagai aktivitas listrik semata, sedangkan seorang mukmin melihatnya sebagai cahaya fitrah yang bersinar ketika kesadaran spiritual terbangun.
Sains dan agama, dalam hal ini, tidak harus saling meniadakan. Neurosains menyediakan peta biologis, sementara agama memberi makna eksistensial atas peta itu. Dari satu objek yang sama — lobus parietalis — lahir dua simpulan berbeda.
Satu objek, multi simpulan.
Akhir kalam,والله اعلم بالصواب
Daftar Pustaka
Al-Rāzī, Fakhr al-Dīn. Mafātīḥ al-Ghayb. Beirut: Dār al-Fikr, 1990.
Al-Ṭabarī, Muḥammad ibn Jarīr. Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1987.
Newberg, Andrew B., dan Eugene d’Aquili. Why God Won’t Go Away: Brain Science and the Biology of Belief. New York: Ballantine Books, 2001.
Newberg, Andrew B. Principles of Neurotheology. Aldershot: Ashgate Publishing, 2010.
Quthb, Sayyid. Fī Ẓilāl al-Qur’ān. Kairo: Dār al-Shurūq, 1985.
Ramachandran, V. S., dan Sandra Blakeslee. Phantoms in the Brain: Probing the Mysteries of the Human Mind. New York: William Morrow, 1998.
