Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
Pendahuluan
INDRAMAYU — William James (1842–1910), tokoh kunci psikologi dan filsafat modern, mengguncang cara pandang tradisional terhadap agama melalui karya monumental The Varieties of Religious Experience (1902). Ia tidak menanyakan apakah Tuhan ada, tetapi mengapa manusia merasa bahwa Tuhan itu ada. Pertanyaan ini menggeser studi agama dari wilayah teologi ke psikologi empiris. Menurut James, agama bukan dogma yang diwariskan, melainkan pengalaman psikologis individual yang lahir dari kegelisahan eksistensial.
Namun di era modern, pandangan James dapat dikembangkan lebih jauh dengan bantuan biologi molekuler dan genetika. Jika James menempatkan agama sebagai fenomena psikologis, maka sains kontemporer membuka kemungkinan bahwa pengalaman religius juga berakar pada fenomena biologis—khususnya aktivitas genetik di dalam otak manusia.
William James dan Revolusi Epistemologi Agama
Bagi James, agama adalah “perasaan, tindakan, dan pengalaman manusia dalam kesendirian, dalam relasinya dengan yang dianggap ilahi.”
Frasa “dalam kesendirian” menandai posisi radikalnya: bahwa agama tidak pertama-tama lahir dari institusi sosial, tetapi dari pengalaman batin individu. Gereja, masjid, atau tempat ibadah hanyalah ekspresi arsitektural dari dinamika psikologis manusia: rasa takut, harap, atau kagum terhadap sesuatu yang transenden.
James kemudian mengklasifikasikan pengalaman keagamaan menjadi dua bentuk:
1.The healthy-minded soul – jiwa yang menemukan Tuhan melalui kegembiraan dan rasa syukur.
2.The sick soul – jiwa yang mencari Tuhan melalui penderitaan dan trauma.
Menurutnya, pengalaman religius bukan bukti kebenaran teologis, melainkan data psikologis. Tuhan, dalam pengertian James, dapat dipahami sebagai efek dari dinamika batin manusia—sebuah mekanisme koping (coping mechanism) untuk menenangkan ketidakpastian dan ketakutan eksistensial.
Dari Psikologi ke Biologi: Spiritualitas sebagai Ekspresi Genetik
Jika James membuka ruang interpretasi psikologis terhadap agama, maka biologi modern menambahkan lapisan baru: spiritualitas juga memiliki jejak biologis.
Sejumlah riset genomik dan neurobiologi telah menunjukkan bahwa pengalaman religius berkaitan dengan aktivitas neural dan genetik tertentu di otak manusia.
Dr. Dean Hamer, seorang genetikus dari National Cancer Institute (AS), mengemukakan hipotesis mengenai “God Gene” (VMAT2) dalam bukunya The God Gene: How Faith Is Hardwired into Our Genes (2004).
Gen VMAT2 (Vesicular Monoamine Transporter 2) diduga berperan dalam mengatur kadar neurotransmiter seperti dopamin dan serotonin—zat kimia otak yang berpengaruh pada pengalaman spiritual, rasa keterhubungan, dan pencarian makna.
Meski hipotesis ini kontroversial, ia memberi arah baru bagi pemahaman bahwa spiritualitas mungkin bukan sekadar fenomena psikologis, melainkan ekspresi genetik yang berkembang bersama evolusi kesadaran manusia.
Proyek Genom Manusia (Human Genome Project) memperkirakan bahwa manusia memiliki sekitar 23.000 hingga 25.000 gen aktif. Di antara ribuan gen itu, sebagian besar mengatur proses biologis, tetapi sejumlah kecil berinteraksi dengan sistem saraf pusat, berpotensi memengaruhi dimensi kesadaran, intuisi, dan pengalaman transendental.
Interkoneksi: Dari Gen ke Jiwa
Dalam kerangka integratif, pengalaman religius dapat dilihat sebagai sintesis antara aktivitas neural (psikologis) dan aktivitas genetik (biologis).
Ketika seseorang berdoa, berdzikir, atau bermeditasi, tubuhnya mengalami perubahan neurofisiologis yang dapat diukur: penurunan aktivitas amigdala (pusat ketakutan), peningkatan gelombang alfa di otak, dan perubahan ekspresi gen yang berhubungan dengan ketenangan, sistem imun, serta perasaan keterhubungan.
Artinya, iman bukan hanya keyakinan, tetapi juga respons biologis terhadap makna.
Tubuh manusia seolah “didesain” untuk mencari dan merasakan Tuhan—sebuah predisposisi spiritual yang mungkin terprogram di dalam DNA kita.
Refleksi Interdisipliner
Baik William James maupun Dean Hamer, meski berbeda disiplin, sama-sama berangkat dari satu premis: agama adalah realitas yang dialami, bukan semata dipercayai.
James membacanya sebagai fakta psikologis; Hamer menafsirkannya sebagai fenomena genetik.
Keduanya menggeser agama dari wilayah metafisik ke wilayah empiris—tanpa meniadakan nilai spiritualnya.
Dari perspektif Islam, hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Adz-Dzariyat [51]:21 —
“Dan juga pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
Ayat ini memberi dasar teologis bahwa tanda-tanda keberadaan dan kebesaran Allah tertanam dalam struktur biologis manusia. Maka, penelitian tentang gen spiritual bukanlah upaya meniadakan Tuhan, melainkan menemukan jejak-Nya dalam sistem kehidupan.
Kesimpulan
William James telah membuka babak penting dalam memahami agama sebagai fenomena psikologis, sementara genetika modern memperluasnya menjadi fenomena biologis.
Agama, dengan demikian, tidak hanya hidup dalam teks dan ritual, tetapi juga dalam struktur otak dan ekspresi gen manusia.
Dari sinilah lahir pandangan baru bahwa spiritualitas adalah bagian integral dari evolusi kesadaran—suatu bentuk fiksi yang fungsional, seperti kata James, tetapi juga kode biologis yang eksistensial, sebagaimana dibuktikan sains modern.
Daftar Pustaka (Ringkas)
James, William. The Varieties of Religious Experience. Harvard University Press, 1902.
Hamer, Dean. The God Gene: How Faith Is Hardwired into Our Genes. Anchor Books, 2004.
Knafo, Ariel & Plomin, Robert. “Genetic Influences on Religiousness and Spirituality.” Behavior Genetics, Vol. 35, 2005.
Newberg, Andrew & d’Aquili, Eugene. Why God Won’t Go Away: Brain Science and the Biology of Belief. Ballantine Books, 2001.
Al-Qur’an, QS. Adz-Dzariyat [51]:21.
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب
