Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
Pendahuluan
INDRAMAYU — Dua ayat Al-Qur’an yang sering dianggap memiliki nada berbeda—Surah Al-Kāfirūn (109):6 “Untukmu agamamu dan untukku agamaku” dan Surah At-Taubah (9):29 “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah…”—sebenarnya bukanlah kontradiksi teologis, melainkan refleksi dari dua pilar dasar ajaran Islam: toleransi spiritual dan ketegasan sosial-politik.
Dalam konteks historis, keduanya turun pada fase berbeda dalam misi kenabian Muhammad ﷺ: Al-Kāfirūn di Makkah—periode dakwah spiritual dan penegasan identitas iman; sedangkan At-Taubah di Madinah—periode pembentukan tatanan sosial dan hukum publik (al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, juz 8).
1.Konteks Historis dan Tekstual
Menurut Tafsīr al-Ṭabarī, Surah Al-Kāfirūn merupakan respons terhadap tawaran kompromi kaum Quraisy agar Nabi ﷺ bersedia menyembah berhala mereka setahun sekali sebagai imbalan agar mereka pun menyembah Allah setahun berikutnya (al-Ṭabarī 2001, 30:243). Ayat “Untukmu agamamu dan untukku agamaku” (QS 109:6) adalah deklarasi kemandirian akidah—bukan permusuhan, melainkan penegasan batas spiritual.
Sebaliknya, Tafsīr Ibn Kathīr menjelaskan bahwa At-Taubah:29 turun saat umat Islam berhadapan dengan Romawi Timur (Bizantium), yang melanggar perjanjian damai dan melakukan agresi terhadap komunitas Muslim di Syam (Ibn Kathīr 1999, 4:400). Maka ayat tersebut bukanlah seruan perang ideologis, tetapi respon politik terhadap pelanggaran hukum internasional (siyāsah dūwaliyah) dalam konteks kekuasaan dan keamanan.
2.Dimensi Teologis: Kebebasan Iman dan Keadilan Sosial
Ayat Al-Kāfirūn:6 menegaskan prinsip kebebasan beragama sebagaimana ditegaskan pula dalam Al-Baqarah:256: “Tidak ada paksaan dalam agama.” Menurut Fazlur Rahman (1982), prinsip ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya menawarkan sistem keimanan, tetapi juga etika kebebasan yang mendasarkan iman pada kesadaran moral, bukan dominasi kekuasaan.
Sementara At-Taubah:29 mempertegas fungsi hukum publik Islam yang melindungi masyarakat dari ketidakadilan. Dalam konteks klasik, ayat ini menetapkan perlindungan terhadap ahl al-kitāb melalui sistem jizyah—bukan bentuk penindasan, tetapi bentuk kontrak sosial di mana non-Muslim dilindungi oleh negara Islam tanpa kewajiban militer (Izutsu 2002, 233–235).
Dengan demikian, Al-Kāfirūn menekankan rahmah (kasih sayang dalam pilihan akidah), sedangkan At-Taubah menegaskan ‘adl (keadilan dalam urusan sosial dan politik).
3.Perspektif Integratif: Toleransi Bukan Relativisme
Islam memandang toleransi bukan sebagai penghapusan perbedaan, melainkan pengakuan terhadap kebebasan manusia di bawah prinsip kebenaran universal tauhid. Al-Qurṭubī menegaskan bahwa ayat “Untukmu agamamu…” tidak meniadakan kewajiban dakwah, tetapi menolak bentuk kompromi akidah (takhāluth dīnī) (al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘, 19:107).
Dalam pandangan modern, Toshihiko Izutsu (2002) menguraikan bahwa konsep “agama” (dīn) dalam Al-Qur’an memiliki dua dimensi: relasional (hubungan dengan Tuhan) dan normatif (sistem kehidupan). Oleh karena itu, kedua ayat ini sebenarnya membentuk keseimbangan antara pluralisme sosial dan monoteisme teologis.
4.Relevansi Kontemporer
Dalam dunia global yang plural, umat Islam dihadapkan pada tantangan menjaga identitas teologis sekaligus membangun hubungan sosial lintas iman. Kedua ayat ini menjadi dasar etika kebinekaan Islam:
Al-Kāfirūn (109:6) → Menjaga identitas iman tanpa arogansi.
At-Taubah (9:29) → Menegakkan keadilan tanpa kekerasan.
Sebagaimana dikatakan oleh Fazlur Rahman (1982), Al-Qur’an menuntut “moral universal” yang berpihak pada keadilan dan kebebasan, bukan permusuhan antaragama.
Kesimpulan
Surah Al-Kāfirūn dan At-Taubah bukanlah ayat yang saling menegasikan, melainkan dua sisi dari misi Islam: pemisahan akidah dan penegakan keadilan sosial.
Yang satu menjaga kemurnian iman, yang lain menjaga keteraturan masyarakat. Dari sini, Islam tampil sebagai agama rahmah dan ‘adl, kasih sayang dan keadilan, bukan dogma yang menolak pluralitas, melainkan sistem etika yang memuliakan kemanusiaan.
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب
