Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
***Abstrak***
INDRAMAYU — Temuan fisika kuantum terbaru menunjukkan adanya fenomena “waktu negatif” atau folded time, di mana partikel cahaya (foton) tampak bergerak secara terbalik terhadap aliran waktu klasik. Temuan ini membuka diskusi filosofis dan teologis tentang sifat waktu, sebab-akibat, serta keberadaan makhluk non-materi seperti malaikat. Dalam Islam, malaikat disebut sebagai makhluk yang diciptakan dari nūr (cahaya), sedangkan manusia juga mengandung unsur fotonik dalam struktur biologisnya. Artikel ini menautkan konsep ilmiah tentang dinamika foton dan teori waktu lipat dengan pemahaman teologis mengenai eksistensi malaikat serta kemungkinan resonansi fotonik dalam diri manusia.
1.Waktu yang Tidak Linear: Temuan Fisika Kuantum Modern
Penelitian kuantum mutakhir menunjukkan bahwa waktu tidak selalu bersifat linear sebagaimana diasumsikan fisika klasik. Dalam eksperimen yang dilakukan oleh tim IBM Quantum pada 2024, para peneliti menemukan bahwa foton dalam sistem kuantum tertentu tampak “keluar” dari material sebelum “masuk” ke dalamnya, menciptakan kesan bahwa waktu dapat berbalik arah.
Fenomena ini disebut sebagai negative time delay — menandakan bahwa waktu di tingkat subatomik mungkin bukan arus satu arah, melainkan struktur yang dapat melipat diri (folded time).
Konsep ini menggugat pemahaman klasik tentang kausalitas (sebab-akibat) dan membuka kemungkinan bahwa masa lalu, kini, dan masa depan dapat koeksis, seperti lapisan-lapisan realitas dalam kain ruang-waktu.
2.Analogi dengan Peristiwa Isra’ Mi’raj dan Pertemuan Antarnabi
Dalam pandangan Islam, peristiwa Isra’ Mi’raj menggambarkan perjalanan Nabi Muhammad saw. melintasi dimensi ruang dan waktu untuk bertemu dengan para nabi terdahulu.
Secara ilmiah, jika kita memandang waktu sebagai struktur berlapis, maka peristiwa lintas zaman ini dapat dipahami bukan sebagai pelanggaran hukum alam, tetapi akses terhadap dimensi kesadaran fotonik — wilayah di mana waktu tidak berjalan linear.
Dalam kerangka ini, jiwa kenabian beroperasi pada frekuensi energi tinggi yang melampaui batas spasial dan temporal, memungkinkan interaksi simultan antara masa lalu dan masa kini.
Fenomena ini sejalan dengan pandangan mistik Ibn ‘Arabi tentang alam mitsal, yaitu dimensi realitas halus yang menghubungkan bentuk material dan spiritual.
3.Malaikat sebagai Entitas Fotonik
Al-Qur’an menyebut malaikat sebagai makhluk yang diciptakan dari nūr (cahaya).
Dalam perspektif fisika modern, cahaya memiliki dua sifat: partikel (foton) dan gelombang.
Maka, malaikat dapat dipahami sebagai entitas energi non-material yang eksistensinya paralel dengan sifat foton:
1.bergerak pada kecepatan cahaya,
2.tidak memiliki massa diam,
3.bersifat dualistik (gelombang-partikel),
4.mampu menembus ruang tanpa batas spasial.
Dalam berbagai riwayat, malaikat Jibril as. menampakkan diri dalam bentuk manusia. Fenomena ini dapat dianalogikan dengan prinsip dekoherensi kuantum, yakni ketika energi fotonik “terlokalisasi” menjadi bentuk yang dapat diukur oleh sistem fisik.
Dengan demikian, kemampuan malaikat untuk berubah wujud bukanlah pelanggaran hukum alam, tetapi representasi konversi energi cahaya menjadi bentuk material sementara, sebagaimana prinsip kesetaraan energi dan massa dalam persamaan Einstein, E = mc².¹¹
4.Cahaya Fotonik dalam Tubuh Manusia
Tubuh manusia juga memancarkan cahaya, meski sangat lemah. Penelitian biologi kuantum yang dilakukan oleh Fritz-Albert Popp menunjukkan bahwa setiap sel hidup memancarkan biofoton, yakni partikel cahaya dengan frekuensi rendah yang dihasilkan oleh aktivitas metabolik DNA.
Foton-foton ini berperan penting dalam komunikasi seluler dan kestabilan biologis.
Dalam konteks spiritual, manusia disebut memiliki nūr dalam dirinya (QS. An-Nur: 35), sehingga secara ontologis, manusia adalah makhluk cahaya sekaligus materi.
Namun, sebagian besar foton dalam tubuh manusia terikat dalam sistem atomik dan molekuler. Hanya dalam kondisi kesadaran tinggi — misalnya saat mediasi, dzikir, atau doa mendalam — sistem elektromagnetik tubuh dapat beresonansi, memungkinkan foton-foton bebas untuk berinteraksi dengan frekuensi lingkungan atau realitas spiritual.
Dengan demikian, pengalaman spiritual mungkin melibatkan resonansi fotonik lintas medan kesadaran.
5.Implikasi Filosofis dan Spiritualitas Kuantum
Jika waktu dapat berlipat dan cahaya menjadi jembatan antara dunia material dan immaterial, maka konsep nūr dalam Al-Qur’an bukan sekadar simbol, melainkan struktur realitas.
David Bohm menyebut hal ini sebagai implicate order — keterlipatan informasi semesta dalam medan kesadaran universal.
Manusia, sebagai perpaduan tanah (materi) dan cahaya (energi), berpotensi mengakses dimensi waktu lipat melalui kesadaran spiritual yang sinkron dengan frekuensi kosmik.
Oleh sebab itu, ungkapan “Allah adalah Cahaya langit dan bumi” (QS. An-Nur: 35) dapat dibaca bukan hanya secara metaforis, tetapi juga ontologis — bahwa segala eksistensi berpijar dari sumber cahaya yang tunggal.¹⁷
Kesimpulan
Melalui sintesis antara fisika kuantum dan teologi Islam, dapat dirumuskan empat kesimpulan utama:
1.Waktu pada level kuantum tidak linear, melainkan dapat berlipat dan memungkinkan interaksi antardimensi.
2.Malaikat, sebagai makhluk cahaya, dapat dipahami sebagai entitas fotonik yang beroperasi di luar batas ruang-waktu.
3.Tubuh manusia mengandung biofoton yang menjadi jembatan antara materi dan kesadaran spiritual.
4.“Cahaya” dalam Al-Qur’an memiliki kedalaman ilmiah, spiritual, dan ontologis, menyatukan kosmologi fisika dan teologi dalam satu bahasa eksistensi.
Akhir kalam, بالصواب والله اعلم
