Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
Pendahuluan
INDRAMAYU — Sains modern dibangun di atas prinsip dasar observabilitas—yakni sejauh mana suatu fenomena dapat diamati, diukur, dan diverifikasi secara empiris. Namun, tidak semua struktur teori sains memiliki derajat observabilitas yang sama. Semakin jauh sebuah objek atau peristiwa dari jangkauan observasi langsung, semakin tinggi pula unsur hipotesis yang harus digunakan untuk menjelaskannya (Hacking 1983). Dalam konteks inilah, pernyataan “semakin jauh dari observabilitas, semakin tinggi unsur hipotesis dalam teori sains” menjadi pijakan epistemologis yang penting.
Observabilitas dan Struktur Teori
Tingkat observabilitas menentukan posisi suatu teori dalam hierarki pengetahuan ilmiah. Fenomena yang dapat diamati langsung — seperti gerak benda, reaksi kimia, atau proses biologis — menghasilkan teori dengan unsur empiris yang kuat. Sebaliknya, teori-teori yang berurusan dengan entitas tak teramati, seperti quark, gravitasi kuantum, atau leluhur bersama spesies purba, menuntut konstruksi hipotesis yang lebih tinggi (Popper 1959).
Sebagai contoh, teori relativitas khusus bersandar pada observasi fenomena terukur seperti waktu dan kecepatan cahaya, sedangkan teori string bergantung pada entitas yang belum pernah diobservasi secara langsung (Greene 2004). Perbedaan derajat observabilitas ini menjelaskan mengapa sebagian teori bersifat eksperimental, sedangkan sebagian lainnya bersifat model matematis atau spekulatif.
Batas Observabilitas DNA dan Implikasinya
Secara empiris, DNA memiliki batas usia observabilitas alami. Penelitian menunjukkan bahwa dalam kondisi ideal (dingin, kering, stabil), DNA purba tertua yang masih bisa diuraikan berasal dari sekitar 1–1,6 juta tahun, seperti pada DNA kuda purba dari Laptev, Siberia (Orlando et al. 2013). Di luar rentang waktu ini, ikatan kimia pada heliks DNA sudah terlalu rusak untuk dianalisis, bahkan dengan teknologi mutakhir seperti Next-Generation Sequencing (NGS) (Hofreiter et al. 2015).
Implikasinya terhadap penelitian Hominidae:
1.Spesies Hominidae tertua (misalnya Homo habilis, ±2 juta tahun; Australopithecus afarensis, ±3 juta tahun) berada di luar batas observabilitas DNA. Hubungan genetiknya hanya bisa diinferensikan dari morfologi dan model molecular clock.
2.Teori “leluhur bersama” antara manusia dan simpanse (~6–7 juta tahun) didasarkan pada model statistik, bukan observasi langsung.
3.Oleh karena itu, penelitian bersifat rekonstruktif, bukan empiris murni.
Dengan demikian, pernyataan di atas memperoleh dasar empiris dalam konteks paleoantropologi dan genetika purba.
Kasus Selisih DNA antara Manusia dan Simpanse
Hasil penelitian genomik menunjukkan bahwa DNA manusia dan simpanse berbeda hanya 1,2% dalam substitusi nukleotida (Chimpanzee Sequencing Consortium 2005). Namun, perbedaan ini tidak mencerminkan variasi struktural, epigenetik, dan regulasi gen non-koding yang justru berperan besar dalam perkembangan otak dan fungsi kognitif (King dan Wilson 1975; Enard 2014).
Karena leluhur bersama manusia dan simpanse hidup sekitar 6–7 juta tahun lalu, tidak ada DNA observabel langsung dari entitas tersebut. Semua kesimpulan berasal dari rekonstruksi komputasional—sebuah inferensi berbasis model, bukan observasi empiris. Maka, unsur hipotesis dalam teori ini tinggi, bukan karena teori itu lemah, tetapi karena obyeknya berada jauh dari jangkauan observasi langsung.
Kasus Evolusi dengan Derajat Kepastian Empiris Tinggi
Tidak semua penjelasan evolusi berada pada jarak observabilitas yang sama. Evolusi mikro—seperti resistansi bakteri terhadap antibiotik—memiliki derajat kepastian empiris tinggi, karena dapat diamati dan direplikasi di laboratorium (Lenski 2017). Misalnya, mutasi gen blaTEM pada E. coli atau mecA pada Staphylococcus aureus dapat dideteksi dengan metode sekuensing DNA.
Contoh lainnya ialah perubahan warna ngengat Biston betularia pada era Revolusi Industri Inggris (Cook dan Saccheri 2013), serta transisi bentuk pada fosil kuda (Equus) yang menawarkan kronologi evolusi lengkap (MacFadden 2005).
Kasus-kasus seperti ini menunjukkan bagaimana jarak observabilitas yang dekat menghasilkan kepastian epistemik tinggi—berbeda dengan rekonstruksi evolusi makro yang berbasis inferensi model dan data fosil terfragmentasi.
Tingkat Observabilitas dalam Penelitian Hominidae
Konsep observabilitas penting dalam memahami metodologi paleoantropologi. Famili Hominidae (manusia, simpanse, gorila, orangutan) memiliki observabilitas rendah hingga sedang, karena sebagian besar data yang tersedia bersifat tidak langsung:
▪︎ fosil morfologis,
▪︎ protein purba melalui paleoproteomik,
▪︎ DNA purba dari individu muda seperti Homo neanderthalensis (Pääbo et al. 2014).
Semakin jauh jarak waktu yang ditelusuri, semakin tinggi ketergantungan pada model rekonstruktif. Ini memperlihatkan bahwa unsur hipotesis dalam teori meningkat secara proporsional dengan menurunnya observabilitas empiris.
Refleksi Epistemologis: Dari Observasi → Inferensi → Spekulasi
Dalam filsafat ilmu, terdapat gradasi epistemik:
1.Observasi → berbasis data empiris yang dapat diuji ulang.
2.Inferensi → berbasis penalaran pola dan model statistik.
3.Spekulasi → berbasis asumsi dan simulasi yang tidak dapat diverifikasi langsung (Lakatos 1978).
Teori sains yang berjarak jauh dari observabilitas—seperti evolusi awal atau kosmogenesis—bergerak dari observasi menuju inferensi, dan akhirnya ke wilayah spekulasi ilmiah. Proses ini bukan kelemahan, melainkan konsekuensi logis dari keterbatasan empiris dalam menjangkau masa lampau atau entitas yang tak teramati.
Dengan kesadaran ini, sains dapat ditempatkan secara proporsional: bukan sebagai dogma, melainkan sebagai sistem pengetahuan yang terus berjuang memahami kenyataan dari data yang kian samar seiring jauhnya masa lalu.
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب
