Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
***Antara Fakta dan Lapisan Metafisika***
INDRAMAYU — Bagi sebagian orang, sains identik dengan hal-hal yang bisa diukur dan diuji. Namun, para filsuf ilmu seperti Thomas Kuhn dan Imre Lakatos menunjukkan bahwa di balik data dan rumus, sains sebenarnya berdiri di atas keyakinan-keyakinan metafisik — yakni asumsi yang tidak bisa dibuktikan secara eksperimen, tetapi tanpa itu sains tidak akan punya arah.
Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions (1962) menjelaskan bahwa setiap teori ilmiah dibangun di atas “paradigma”, yaitu kerangka berpikir yang mengandung pandangan metafisik tentang dunia: apakah alam ini teratur, apakah hukum-hukumnya universal, dan apakah sebab-akibat itu selalu berlaku. Tanpa kepercayaan terhadap keteraturan alam, seorang ilmuwan tak akan mungkin meneliti apa pun secara sistematis.
Sementara itu, Lakatos (1978) menyebut adanya hard core, inti keras dari setiap program riset, berupa keyakinan metafisik yang tidak bisa difalsifikasi. Artinya, sains tidak hanya berbicara tentang apa yang dapat dilihat, tetapi juga tentang apa yang harus diasumsikan agar dunia dapat dimengerti.
Contohnya mudah: ruang dan waktu dalam teori relativitas tidak dapat diobservasi secara langsung, tetapi tanpa keduanya seluruh fisika modern akan runtuh. Begitu pula dengan gelombang probabilistik dalam mekanika kuantum — sesuatu yang tidak kasat mata, namun menjadi fondasi semua perilaku partikel subatomik.
Jadi, sains modern ternyata tidak bebas dari metafisika. Ia hanya menggantikan bahasa keagamaan dengan terminologi teoritis yang berfungsi serupa: menjelaskan mengapa alam ini bisa dipahami.
Metafisika Kosmologi dan Kekeliruan “God of Gaps”
Ketika ilmuwan berbicara tentang asal-usul alam semesta, mereka sedang berhadapan dengan wilayah yang disebut Metafisika Kosmologi (MK) — upaya menjelaskan bukan hanya bagaimana alam bekerja, tetapi mengapa ia ada. Di sinilah perdebatan antara sains dan teologi sering memanas.
Istilah God of gaps sering muncul: gagasan bahwa Tuhan digunakan hanya untuk mengisi celah pengetahuan yang belum dijelaskan sains. Ketika pengetahuan meningkat, “celah” itu menyempit, dan posisi Tuhan pun seakan-akan mundur.
Namun, pandangan Qur’ani jauh berbeda. Dalam Islam, Tuhan tidak hanya hadir di wilayah yang belum terjelaskan, melainkan menjiwai seluruh eksistensi — baik yang sudah dipahami, sedang dikaji, maupun yang takkan pernah terjangkau manusia.
Allah bukan “pengisi kekosongan epistemik”, tetapi sumber ontologis dari seluruh hukum alam itu sendiri.
“Ayat”: Tanda Ontologis dari Realitas Ilahi
Al-Qur’an memperkenalkan istilah “āyah” (آية) untuk menyebut tanda-tanda keberadaan Allah, baik yang berupa teks wahyu (ayat qauliyah) maupun fenomena alam (ayat kauniyah).
Para mufasir klasik seperti Fakhr al-Dīn al-Rāzī menjelaskan bahwa setiap ciptaan di langit dan bumi adalah āyah bagi orang yang berpikir, sebagaimana setiap lafaz dalam Al-Qur’an adalah āyah bagi yang beriman.
Sementara al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menegaskan bahwa ayat tidak dibaca dengan mata semata, melainkan dengan hati yang menangkap maknanya.
Dari sini lahir rumusan konseptual yang penting:
Ayat adalah setiap tanda ontologis yang menunjuk kepada realitas Ilahi, baik dalam bentuk wahyu verbal (qauliyah) maupun fenomena empiris (kauniyah), mencakup segala hal yang telah, sedang, dan belum terjangkau oleh pengetahuan manusia.
Dengan pandangan ini, sains dan agama tidak lagi bertentangan, sebab keduanya membaca “ayat” dari dua sisi: sains membaca bagaimana ayat itu bekerja, teologi membaca mengapa ayat itu bermakna.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami (آياتنا) di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Dia-lah Yang Haq.”
(QS. Fussilat [41]: 53)
Observabilitas dan Spektrum Ayat
Dalam bahasa ilmiah, observabilitas menentukan apakah sesuatu bisa diamati langsung, tidak langsung, atau sama sekali tidak dapat diverifikasi. Dalam teologi Qur’ani, hal ini sejajar dengan tiga kategori “ayat”:
Tingkat Realitas Jenis Ayat Status Epistemik Contoh
Empiris langsung Ayat syahādiyyah Dapat diobservasi Gerak planet, reaksi kimia
Empiris tidak langsung Ayat takwīniyyah Dapat diinferensikan Gelombang gravitasi, DNA purba
Trans-empiris Ayat ghaybiyyah Tidak dapat diverifikasi empiris Ruh, malaikat, kehidupan akhirat
Dari tabel ini terlihat bahwa konsep “ayat” mencakup seluruh spektrum pengetahuan, dari yang paling empiris hingga yang paling transendental. Tidak ada jurang pemisah antara sains dan wahyu; yang ada hanyalah gradasi observabilitas.
Refleksi: Membaca Alam sebagai Ayat
Sains modern, dengan segala kemajuan teknologinya, sebenarnya sedang melanjutkan tradisi kuno: membaca tanda-tanda alam.
Bedanya, para ilmuwan menyebutnya “data”, sedangkan Al-Qur’an menyebutnya “ayat”.
Keduanya bertemu pada satu kesadaran: alam ini tidak acak, tetapi sarat makna.
Oleh karena itu, memahami sains bukan sekadar memahami materi, melainkan menafsirkan ayat-ayat kauniyah.
Begitu pula, berteologi bukan sekadar menghafal doktrin, tetapi menyelami makna ayat-ayat yang bertebaran di semesta.
Integrasi keduanya membebaskan sains dari reduksionisme materialistik, dan membebaskan teologi dari jebakan God of gaps.
Sains menjadi jalan tafaqquh fi al-ayat — pendalaman makna terhadap tanda-tanda kebesaran Tuhan melalui laboratorium, teleskop, dan mikroskop.
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب
