Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
Pendahuluan
INDRAMAYU — Tulisan “Alam Semesta Lain dan Kesadaran Keberadaan” berusaha menjelaskan keberadaan semesta tanpa mengandaikan Tuhan maupun kebetulan. Penulisnya menawarkan konsep “kecenderungan universal untuk mempertahankan keberadaan” sebagai prinsip dasar yang melahirkan siklus kosmik — kelahiran dan kematian semesta sebagai ekspresi naluri kosmik yang tanpa awal dan tanpa akhir.
Secara retoris, gagasan ini memikat. Ia menggantikan causa prima (sebab pertama) dengan dinamika universal, suatu prinsip yang seolah-olah inheren dalam realitas. Namun secara epistemologis, konsep tersebut menghadapi persoalan mendasar: ia tidak dapat diverifikasi secara empiris, dan tidak pula dapat difalsifikasi secara logis. Dengan kata lain, “kecenderungan universal” hanyalah nama lain bagi ketidaktahuan yang dibungkus dengan bahasa metafisis.
Dari Hukum Fisika ke “Naluri Kosmik”
Dalam fisika modern, hukum keteraturan seperti second law of thermodynamics (hukum entropi) memang menggambarkan kecenderungan sistem menuju keseimbangan. Namun menyebutnya sebagai “naluri” berarti memberi personifikasi pada proses alam yang bersifat impersonal. Konsep ini lebih bersifat metaforis daripada ilmiah. Alam tidak “ingin” melanjutkan diri — ia hanya mengikuti hukum-hukum yang teramati tanpa tujuan sadar.
Masalah Ontologis: Prinsip Tanpa Dasar
Ketika penulis mengatakan bahwa gerak universal “tanpa awal dan tanpa akhir”, maka konsep tersebut bukan lagi empiris, tetapi metafisis. Ia beroperasi pada ranah ontologis yang sama dengan teologi, hanya berbeda dalam istilah. “Kecenderungan universal” di sini sebenarnya menggantikan posisi Tuhan sebagai prinsip pengada, sehingga alih-alih menolak teisme, ia justru memperkenalkan bentuk baru dari panteisme rasional — di mana hukum alam diperlakukan sebagai entitas sakral.
Perspektif Proporsional: Fenomena dan Prinsip
Komentar bahwa “kecenderungan universal yang dianggap sebagai sumber siklus alam semesta sebetulnya tidak lebih dari konsep yang dirumuskan penulis” sepenuhnya tepat. Sebab, dalam metodologi ilmiah, setiap konsep universal harus berakar pada fenomena yang dapat diobservasi. Sementara dalam tulisan tersebut, hubungan antara fenomena (seperti kematian bintang atau kelahiran galaksi baru) dengan prinsip “kecenderungan universal” hanyalah korelasi konseptual, bukan kausalitas empiris.
Dengan demikian, yang sejatinya universal bukanlah naluri kosmos, tetapi hukum keteraturan yang menampakkan diri melalui fenomena. Hukum ini dapat dipahami sebagai ayat-ayat kauniyah — tanda-tanda keteraturan yang menjadi basis kosmologis bagi teologi maupun sains.
Penutup
Paradoks tulisan teman Anda justru terletak pada pencarian abadi akan prinsip yang tak terbatas. Di satu sisi ia menolak Tuhan personal, di sisi lain ia menciptakan prinsip impersonal yang berperan sama. Maka, yang disebut “kecenderungan universal” sesungguhnya bukan kenyataan objektif, melainkan hasil refleksi subjektif manusia yang mencoba memberi makna pada keberadaan — konsep yang muncul dari rasionalitas, bukan dari realitas itu sendiri.
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب
