Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
INDRAMAYU — ● ABSTRAK: Tulisan ini mengkaji teori baru dalam neurosains dan fisika kuantum yang menyatakan bahwa kesadaran tidak semata-mata hasil dari aktivitas neuron, melainkan manifestasi dari resonansi energi yang sinkron di dalam otak. Pendekatan ini dikenal sebagai teori resonansi kesadaran (resonance theory of consciousness). Artikel ini menyoroti keterbatasan epistemik sains kontemporer, khususnya tekno-neurosains, dalam menjelaskan keberagaman bentuk kesadaran manusia yang meliputi dimensi sosial, politik, estetis, dan spiritual. Dengan demikian, tulisan ini berupaya membangun jembatan konseptual antara gagasan fisika kuantum tentang energi non-musnah dengan konsep ruh dalam khazanah keagamaan.
● PENDAHULUAN: Selama berabad-abad, kesadaran manusia menjadi misteri terbesar dalam ilmu pengetahuan. Pandangan reduksionis berusaha menjelaskan kesadaran sebagai produk interaksi kimiawi di otak, sedangkan perspektif spiritual menganggapnya sebagai manifestasi dari entitas non-fisik yang disebut ruh. Ketegangan epistemologis antara dua pendekatan ini mendorong munculnya berbagai teori alternatif yang mencoba menggabungkan keduanya.
Salah satu teori yang mencuri perhatian adalah teori resonansi kesadaran, yang dikembangkan oleh para fisikawan dan ahli saraf di berbagai pusat riset global. Teori ini mengusulkan bahwa kesadaran muncul ketika gelombang energi dalam otak beresonansi secara harmonis — mirip orkestra yang mencapai sinkronisasi sempurna. Dalam pandangan ini, pikiran dan kesadaran bukan semata hasil reaksi biokimia, melainkan akibat dari sinkronisasi energi informasi pada tingkat kuantum.
● KESADARAN SEBAGAI ENERGI NON-MUSNAH: Albert Einstein menegaskan prinsip kekekalan energi: “Energy cannot be created or destroyed, it can only be changed from one form to another.”
Jika kesadaran dipahami sebagai bentuk energi informasi, maka ia tunduk pada prinsip yang sama: kesadaran tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, hanya dapat berubah bentuk. Teori Orchestrated Objective Reduction (Orch-OR) yang dikembangkan Roger Penrose dan Stuart Hameroff mendukung pandangan ini, dengan menjelaskan bahwa proses kesadaran terjadi melalui osilasi kuantum di mikrotubulus neuron. Ketika sistem biologis berakhir, informasi kuantum tersebut tidak hilang, melainkan terdistribusi kembali ke medan energi universal — sebuah bentuk “transmutasi eksistensial”.
● RESONANSI ENERGI DAN JARINGAN NEURAL: Penemuan mengenai resonansi neural menunjukkan bahwa miliaran neuron dapat berkoordinasi secara instan tanpa mediator sinaptik langsung. Fenomena ini mengindikasikan adanya komunikasi berbasis frekuensi, bukan semata transmisi listrik. Dengan kata lain, kesadaran mungkin merupakan hasil dari sinkronisasi frekuensi energi lintas wilayah otak, yang membentuk “medan kesadaran” (field of consciousness).
Pendekatan ini mendekatkan konsep ilmiah kesadaran dengan pandangan metafisis bahwa realitas memiliki lapisan energi laten, di mana ruh dapat dipahami sebagai struktur non-lokal yang beresonansi dengan tubuh fisik melalui gelombang energi halus.
● BATAS EPISTEMIK TEKNO-NEUROSAINS: Jika kesadaran dianggap semata-mata sebagai hasil dari jaringan neural, sains modern menghadapi tantangan besar. Hingga kini, belum ditemukan jaringan otak spesifik yang menjadi basis tunggal bagi jenis kesadaran tertentu — sosial, politik, estetis, atau spiritual. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran memiliki diversitas ontologis yang tidak bisa dijelaskan oleh model neurobiologis linear.
Kesadaran spiritual, misalnya, sering disertai aktivitas gelombang otak alfa dan gamma, namun pola ini juga muncul dalam kondisi meditasi estetis dan kreativitas. Maka, reduksi kesadaran pada satu pola neural tidak cukup menjelaskan kompleksitas pengalaman manusia. Oleh sebab itu, pendekatan kuantum—yang memperlakukan kesadaran sebagai resonansi energi non-lokal—menawarkan horizon baru bagi filsafat pikiran.
●TRANSPOSISI KONSEPTUAL antara RUH dan ENERGI: Dalam kerangka teologis Islam, ruh dipahami sebagai unsur non-materi yang menghidupkan jasad. Al-Qur’an menegaskan, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ruh itu urusan Tuhanku” (QS Al-Isra’: 85). Ayat ini membuka kemungkinan bahwa ruh berada pada tataran realitas yang tidak terjangkau indra maupun sains empiris, namun dapat didekati melalui pendekatan konseptual.
Jika ruh dipandang sebagai bentuk energi laten — energi yang tersembunyi dan non-musnah — maka ia dapat diposisikan sejajar dengan medan energi kuantum yang menghubungkan seluruh eksistensi. Dengan demikian, ruh bukanlah entitas asing bagi fisika, melainkan aspek terdalam dari keberadaan itu sendiri, resonan dengan hukum kekekalan energi.
●KESIMPULAN: Teori resonansi kesadaran memberikan perspektif baru dalam memahami hubungan antara pikiran, energi, dan eksistensi. Sains modern masih menghadapi keterbatasan dalam menjelaskan fenomena kesadaran secara utuh. Namun, jika kesadaran dipahami sebagai energi informasi yang beresonansi dalam sistem biologis dan melampauinya, maka konsep ruh dalam spiritualitas dapat menemukan landasan ilmiah baru.
Dengan demikian, transposisi konseptual antara ruh dan energi kuantum tidak sekadar menjembatani agama dan sains, tetapi membuka jalan menuju pemahaman yang lebih integral tentang hakikat manusia dan semesta.
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب
