INDRAMAYU — Bagian 4
BAB III: Kritik terhadap Agama Non-Teistik dan Spiritualitas Tanpa Dzat
3.1. Transformasi Agama: Dari Teistik ke Non-Teistik
Fenomena pergeseran agama dari struktur teistik menuju bentuk non-teistik atau bahkan pseudo-teistik dapat dilacak pada beberapa tradisi keagamaan besar seperti Buddhisme, Jainisme, dan dalam batas tertentu, Taoisme. Dalam sejarah awalnya, ajaran Buddha Gautama dan Mahavira tidak serta-merta menghapus keberadaan entitas metafisik tertinggi, namun cenderung mengalihkan fokus pada pengalaman batiniah, etika, dan disiplin spiritual yang ketat.
Namun, seiring waktu dan pengaruh epistemologi empiris dan materialisme Eropa modern, ajaran-ajaran tersebut tereduksi menjadi bentuk spiritualitas tanpa kebergantungan kepada Dzat Ilahi. Bentuk ini kerap disebut sebagai “agama tanpa Tuhan,” namun tetap mempertahankan ritus dan struktur moral yang menyerupai agama teistik. Pergeseran ini bukan tanpa problematika, terutama dalam menjawab asal mula eksistensi dan kesadaran.
3.2. Spiritualitas Zat: Hukum Alam sebagai “Tuhan Baru”?
Salah satu kecenderungan dalam agama non-teistik dan aliran spiritualitas modern adalah mengangkat hukum alam sebagai kekuatan transenden. Dalam cara pandang ini, hukum-hukum fisika—seperti mekanika kuantum, entropi, atau prinsip ketidakpastian—dipandang tidak sekadar sebagai alat penjelas fenomena, melainkan entitas yang mengatur, menggerakkan, bahkan menentukan realitas. Dengan demikian, hukum alam diperlakukan sebagai entitas transendental, bukan sekadar deskripsi fenomena.
Di sinilah muncul konsep “spiritualitas Zat”, yakni keyakinan bahwa Zat—dalam artian struktur fisis yang inheren dalam materi—memiliki kekuatan “quasi-ilahi”. Spiritualitas semacam ini tidak berpijak pada Dzat yang mandiri dan bebas dari hukum alam, tetapi justru menggantungkan transendensi pada keteraturan alam semesta yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Spiritualitas Zat cenderung meminjam aura kekhusyukan dari religiositas tradisional, tetapi tidak mendasarkan diri pada hakikat metafisis yang berdiri sendiri (Dzat).
3.3. Kritik Filosofis: Dzat sebagai Asas Mutlak Realitas
Dalam kerangka filsafat teistik, segala sesuatu yang eksis membutuhkan asas yang tidak tergantung, yaitu Dzat. Dzat di sini bukan sekadar substansi metafisik, tetapi entitas absolut yang menjadi sumber segala eksistensi, kesadaran, dan hukum yang mengatur realitas. Jika materi dianggap sebagai asal mula tanpa Dzat, maka pertanyaan fundamental muncul: bagaimana entitas non-sadar dan tak bernyawa (seperti singularitas dalam kosmologi Big Bang) dapat melahirkan entitas sadar dan cerdas seperti manusia?
Materialisme—baik yang keras (hard materialism) maupun yang spiritualistik—tidak sanggup menjawab “keniscayaan kesadaran” ini. Dalam pandangan ini, singularitas 1D atau fluktuasi kuantum hanya dilihat sebagai entitas matematis tanpa intensionalitas. Sementara itu, dalam pendekatan teistik, kesadaran manusia justru menjadi bukti kuat adanya Dzat sebagai sumbernya, bukan sekadar hasil kebetulan material.
3.4. Spiritualitas Tanpa Tuhan: Sebuah Murtad Kolektif?
Fenomena spiritualitas tanpa Tuhan, atau bahkan “agama” tanpa Dzat, dapat dibaca sebagai bentuk murtad kolektif dari struktur metafisika klasik. Sekalipun tidak secara eksplisit menolak moralitas dan kedamaian batin, aliran ini menggeser titik tumpu dari transendensi mutlak kepada imanensi teratur. Akibatnya, hukum alam dijadikan sebagai pengganti Tuhan, meski tidak disembah dalam pengertian ritualistik.
Namun demikian, spiritualitas semacam ini cenderung tidak konsisten. Di satu sisi, ia menolak konsep Tuhan sebagai entitas personal transenden, namun di sisi lain, tetap menggunakan konsep keteraturan, kehendak, atau arah dalam semesta—yang justru mensyaratkan adanya kecerdasan kosmis atau desain. Hal ini menunjukkan bahwa upaya mengganti Dzat dengan Zat hanya menghasilkan spiritualitas yang setengah-setengah dan problematik secara ontologis.
BERSAMBUNG
