Bagian 3
Bab I: PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
INDRAMAYU — Pertanyaan mengenai kemungkinan adanya agama tanpa Tuhan telah menjadi bahan perdebatan yang memunculkan berbagai konsekuensi teologis, filosofis, dan sosiologis. Dalam konteks modern, pertanyaan ini tidak dapat dilepaskan dari krisis spiritualitas yang melanda masyarakat pascamodern, di mana keterputusan dari iman kepada Tuhan personal digantikan oleh ketundukan kepada tatanan alam atau hukum-hukum fisik yang dianggap “suci”.
Kebangkitan spiritualitas non-teistik ini tidak muncul dalam ruang hampa. Dalam beberapa sistem kepercayaan seperti Buddhisme, Jainisme, dan bahkan dalam bentuk modern Humanisme, kehadiran Tuhan personal tidak menjadi landasan utama etika atau kehidupan religius. Namun demikian, fenomena ini menimbulkan pertanyaan lanjutan: jika agama tidak lagi berpusat pada Tuhan, lantas kepada apa manusia bertumpu?
Untuk menjawabnya, diperlukan pembedaan konseptual antara dua bentuk spiritualitas:
Spiritualitas Dzat, yakni keimanan kepada Tuhan yang berdiri sendiri (qayyum), transenden, dan personal.
Spiritualitas Zat, yakni penghormatan terhadap hukum alam sebagai kekuatan yang bekerja otomatis, impersonal, dan inheren dalam semesta.
Perbedaan ini penting karena menyangkut paradigma metafisik yang sangat kontras. Dzat (dengan huruf ‘D’) merujuk pada hakikat eksistensial yang mandiri dan menjadi sumber segala sesuatu, sedangkan zat (dengan huruf ‘z’) mengacu pada substansi material yang memiliki massa dan menempati ruang. Zat (huruf kapital Z) dalam konteks spiritualitas merujuk pada hukum alam yang mengatur materi, namun tetap bersifat impersonal.
Di sinilah posisi sains murni perlu ditegaskan. Sains murni sebagai metode, terutama dalam fisika kuantum, telah menunjukkan bahwa realitas tidak sepenuhnya deterministik dan mekanistik. Fenomena seperti ketidaktentuan (uncertainty), keterkaitan non-lokal (entanglement), dan pengaruh pengamat (observer effect) membuka kemungkinan bagi penafsiran metafisik baru yang tidak reduksionis. Sebaliknya, saintisme justru menghambat pemahaman spiritual dengan menyamakan metode ilmiah sebagai satu-satunya jalan kebenaran.
Tulisan ini akan menelusuri lebih jauh bagaimana krisis spiritualitas, peran sains murni, serta perubahan makna Dzat dan Zat membentuk ulang diskursus tentang agama dan eksistensi. Apakah spiritualitas dapat hidup tanpa Tuhan, dan jika ya, apakah ia masih menyisakan makna yang utuh?
1.2. Rumusan Masalah
Tulisan ini berangkat dari beberapa pertanyaan utama:
1.Apakah yang dimaksud dengan agama non-teistik, dan bagaimana posisinya dalam spektrum kepercayaan?
2.Apakah penganut agama tanpa Tuhan dapat disebut sebagai ateis?
3.Bagaimana pergeseran konsep Tuhan dalam beberapa agama Timur dari entitas personal menuju prinsip impersonal seperti hukum alam?
4.Apakah mungkin kesadaran manusia yang kompleks berasal dari entitas fisik yang tidak memiliki kesadaran, menurut kerangka metafisik?
1.3. Tujuan Penelitian
Tulisan ini bertujuan untuk:
Mengklasifikasikan dan membedakan antara teisme, non-teisme, dan ateisme dalam konteks agama.
Menganalisis pergeseran doktrin dalam agama non-teistik dan implikasinya terhadap pengertian agama itu sendiri.
Menyajikan refleksi metafisik atas asal-usul kesadaran dalam semesta tanpa Tuhan.
Memberikan kerangka konseptual untuk memahami fenomena spiritualitas modern secara ilmiah dan filosofis.
1.4. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, tulisan ini memperluas wawasan dalam studi agama dan filsafat mengenai spektrum keberagamaan. Secara praktis, tulisan ini dapat menjadi referensi bagi para cendekiawan, agamawan, dan pencari spiritualitas dalam memahami kompleksitas iman di era pasca-modern.
Bab II: Kerangka Teoretis
2.1 Spiritualitas dalam Tradisi Teistik: Konsep Dzat dan Ruh
Dalam tradisi agama-agama teistik seperti Islam, Kristen, dan Yahudi, konsep Tuhan bukan sekadar entitas transenden, melainkan Dzat yang personal, sadar, dan aktif dalam penciptaan serta pemeliharaan alam semesta. Dalam Islam, istilah Dzat menunjuk pada keberadaan Tuhan yang absolut, tidak menyerupai makhluk, namun menjadi sumber segala sesuatu. Konsep ini terintegrasi dengan gagasan tentang ruh, yaitu esensi kesadaran dan kehidupan yang berasal dari Tuhan. Al-Qur’an menegaskan bahwa ruh adalah urusan Tuhan (QS Al-Isra: 85), yang dalam banyak tafsir dimaknai sebagai bentuk kehidupan non-material yang menjadi inti keberadaan manusia.
Ruh bukan hanya vitalitas biologis, melainkan juga basis kesadaran moral dan spiritual. Dalam konteks ini, spiritualitas teistik mengandaikan adanya hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan, yang memfasilitasi transformasi etis dan eksistensial. Tuhan bukan sekadar penyebab pertama, tetapi juga subjek komunikasi spiritual, objek ibadah, dan pusat orientasi nilai.
Konsep ketuhanan dalam agama teistik juga tidak bisa dilepaskan dari gagasan tentang Dzat sebagai esensi tertinggi. Dalam kerangka keislaman, istilah Dzat (ذَات) merujuk kepada hakikat atau esensi Tuhan yang bersifat absolut, berdiri sendiri, dan tidak bergantung pada apa pun. Dzat dalam pengertian ini adalah substansi metafisik yang eksistensinya independen dan menjadi sumber segala yang ada.
Sebagai klarifikasi terminologis yang penting, Dzat berbeda secara fundamental dari Zat. Kata Zat (dengan huruf kapital) dalam diskusi ini merujuk pada entitas metafisis yang diyakini inheren dalam zat (dengan huruf kecil), yakni materi yang memiliki massa dan menempati ruang. Zat mengacu pada kekuatan atau prinsip pengatur yang bekerja secara imanen dalam sistem material—sebuah spiritualitas impersonal yang sering diasosiasikan dengan hukum-hukum alam atau energi semesta.
Dengan demikian, Dzat adalah prinsip transenden dan personal, sedangkan Zat adalah prinsip imanen dan non-personal. Perbedaan ini penting untuk memahami transisi dari spiritualitas teistik menuju bentuk spiritualitas non-teistik yang berkembang di era modern.
2.2 Spiritualitas dalam Agama Non-Teistik: Kesadaran Kosmik dan Etika tanpa Tuhan
Berbeda dengan agama-agama teistik, beberapa tradisi seperti Buddhisme, Jainisme, dan Taoisme tidak menempatkan Tuhan sebagai pusat kepercayaan. Dalam Buddhisme, misalnya, fokus utama adalah pada pencapaian nirvana, yaitu kondisi pencerahan di mana penderitaan berakhir, tanpa perlu meyakini Tuhan personal. Walau demikian, Buddhisme tetap memiliki ajaran moral dan praktik spiritual seperti meditasi, welas asih, dan pengendalian diri.
Jainisme juga mengajarkan jalan pembebasan dari karma melalui disiplin ketat dan laku asketik, namun tidak bergantung pada entitas ilahi. Sementara Taoisme mengenalkan konsep Tao sebagai prinsip imanen yang mengatur keseimbangan dan keteraturan kosmos, bukan sebagai Tuhan pencipta, tetapi sebagai jalan kodrati yang harus diikuti.
Agama-agama ini menunjukkan bahwa spiritualitas dapat tumbuh tanpa premis teistik. Spiritualitas dalam kerangka ini bersifat non-personal, berorientasi pada harmoni, kesadaran diri, dan etika universal. Namun, tetap terdapat pengakuan implisit terhadap kekuatan transenden atau kosmik yang mengatur realitas.
2.3 Dari Materialisme ke Spiritualitas Zat: Arus Balik Filsafat Alam
Dalam perkembangan kontemporer pemikiran filsafat dan sains, terjadi suatu arus balik dari materialisme murni menuju bentuk spiritualitas baru. Namun karena kebangkitan ini lahir dari penolakan terhadap spiritualitas personal yang bersandar pada Dzat, maka spiritualitas modern berkembang dalam bentuk keyakinan terhadap hukum-hukum alam yang absolut—sebuah bentuk spiritualitas Zat.
Zat, dalam konteks ini, tidak merujuk kepada materi fisik semata, melainkan pada suatu entitas metafisis yang dianggap inheren dalam struktur materi itu sendiri, yang mengatur, menyesuaikan, dan bahkan memperbaiki dirinya melalui mekanisme seperti entropi, evolusi, atau sistem dinamik kompleks. Keyakinan terhadap “hukum alam” sebagai kekuatan tertinggi dalam semesta menunjukkan sebuah bentuk spiritualitas imanen yang sejatinya paralel dengan kebutuhan manusia akan makna transenden—meskipun dalam wajah yang berbeda.
Dalam perjalanan sejarah pemikiran modern, terutama sejak era Pencerahan, lahir arus materialisme ilmiah yang menekankan bahwa seluruh fenomena dapat dijelaskan melalui hukum-hukum fisika dan interaksi materi. Pandangan ini menghasilkan reduksionisme yang menyingkirkan aspek ruhani, menggantinya dengan mekanika sebab-akibat dalam ruang dan waktu.
Namun, perkembangan fisika kuantum, kosmologi modern, dan ilmu saraf telah mengusik fondasi materialisme klasik. Konsep seperti non-locality, entanglement, dan emergent consciousness membuka kembali ruang bagi pertanyaan spiritual tentang asal-usul kesadaran dan keteraturan semesta. Dalam konteks inilah muncul bentuk baru dari spiritualitas yang tidak lagi bertumpu pada Tuhan personal, tetapi pada struktur terdalam dari realitas itu sendiri.
Spiritualitas ini lahir dari pengakuan bahwa hukum alam memiliki keteraturan, keharmonisan, bahkan “kecerdasan” tertentu yang melampaui kebetulan. Inilah yang oleh sebagian filsuf dan ilmuwan spiritualis seperti Fritjof Capra, David Bohm, dan Rupert Sheldrake disebut sebagai cosmic intelligence. Di sini, spiritualitas tidak lahir dari wahyu, tetapi dari keterpukauan terhadap kosmos yang kompleks namun teratur.
Fenomena ini dapat dipahami sebagai bentuk spiritualitas Zat, yaitu bentuk spiritualitas yang bersandar pada entitas non-personal namun tetap transenden: hukum-hukum alam, energi kosmik, atau kesadaran universal. Berbeda dengan spiritualitas Dzat yang berakar pada hubungan dengan Tuhan personal, spiritualitas Zat menekankan konektivitas, integrasi, dan kebertundukan terhadap tatanan alam semesta.
Menariknya, kedua bentuk spiritualitas ini tetap bertemu pada satu titik ontologis: keyakinan akan adanya kekuatan sumber yang melahirkan materialitas dan kesadaran. Dalam perjumpaan antara filsafat, sains, dan agama inilah narasi spiritualitas manusia terus berkembang, menegaskan bahwa bahkan dalam dunia pasca-teistik, pencarian makna dan transendensi tetap berdenyut dalam kesadaran kolektif umat manusia.
BERSAMBUNG
