Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
INDRAMAYU — Pernahkah kita berpikir, mengapa dua unsur gas — hidrogen dan oksigen — ketika bergabung, tiba-tiba berubah menjadi cairan yang menampung kehidupan? Mengapa susunan gen dalam DNA harus empat basa dan bukan lima atau tiga? Dan mengapa kesadaran muncul dari jaringan saraf, padahal semuanya hanya terdiri dari atom dan listrik kecil?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menempatkan manusia pada persimpangan antara materialisme ilmiah dan spiritualisme teistik — dua cara memandang realitas yang tampaknya berseberangan, namun sesungguhnya saling menyinggung dalam kedalaman yang sama.
⚙️ 1. DARI “TUHAN CELAH ” KE “TUHAN STRUKTUR”: Dalam tradisi ilmiah Barat, muncul istilah God of the gaps — “Tuhan dari celah-celah ketidaktahuan.” Artinya, ketika sains belum mampu menjelaskan sesuatu, sebagian orang mengisinya dengan jawaban “itu kehendak Tuhan.” Namun, ketika sains menemukan penjelasan mekanistiknya, Tuhan seolah tersingkir dari laboratorium dan persamaan.
Materialisme pun menolak gagasan itu dengan argumen: “Jika Tuhan hanya berfungsi menutupi ketidaktahuan, maka semakin banyak kita tahu, semakin kecil peran Tuhan.”
Namun, spiritualisme — khususnya dalam pandangan Islam — justru menolak premis semacam itu sejak awal. Dalam Al-Qur’an, Tuhan bukan pengisi celah, tetapi sumber hukum-hukum alam itu sendiri. Firman Allah, “Engkau tidak akan menemukan perubahan dalam sunnatullah (hukum Allah).” (QS. Fāṭir [35]: 43)
Artinya, setiap hukum gravitasi, termodinamika, atau evolusi biologis bukanlah tanda “ketiadaan Tuhan”, melainkan manifestasi kebijaksanaan-Nya yang konsisten.
◆ 2. AIR DAN MISTERI KEBERATURAN: ANTARA LATEN DAN EMERGEN: Mari kita ambil contoh sederhana: air (H₂O).
Mengapa ia harus dua atom hidrogen dan satu atom oksigen — bukan HO atau H₃O? Ilmu kimia menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi melalui ikatan kovalen dan sudut molekul, tetapi tidak bisa menjelaskan mengapa hukum-hukum itu harus mengambil bentuk tersebut. Di sinilah muncul entitas laten — dimensi hukum alam yang ada tetapi tak sepenuhnya terjangkau oleh eksperimen.
Lalu muncul entitas emergen: dari dua gas tak berwarna dan mudah terbakar, tiba-tiba lahir cairan bening yang memadamkan api, melarutkan kehidupan, dan menjadi syarat keberadaan makhluk hidup.
Fenomena “kemunculan sifat baru dari kombinasi sederhana” ini disebut emergent property dalam sains, tetapi dalam teologi bisa dipahami sebagai tajalli — manifestasi kebesaran Allah dalam lapisan materi.
♠︎ 3. ZONA SINGGUH ANTARA SAINS DAN SPIRITUALITAS: Daripada saling meniadakan, materialisme dan spiritualisme bisa dipertemukan melalui konsep lapisan realitas (multi-layer ontology).
Bahwa setiap fenomena alam memiliki lapisan yang saling bertaut:
Lapisan | Penjelasan Ilmiah | Pemaknaan Spiritual
▪︎ Lapis Fisikal
- Penjelasan Ilmiah: Hukum energi, gaya, materi
- Pemaknaan Spiritual: Sunnatullah: hukum tetap ciptaan Allah
▪︎ Lapis Biologis
- Penjelasan Ilmiah: Genetika, metabolisme, evolusi
- Pemaknaan Spiritual: Kehendak Ilahi dalam mengatur kehidupan
▪︎ Lapis Mental
- Penjelasan Ilmiah: Aktivitas saraf, kesadaran
•Pemaknaan Spiritual: Dimensi ruhani dan qalb manusia
▪︎ Lapis Transenden
- Penjelasan Ilmiah: Tak terjangkau sains
- Pemaknaan Spiritual: Wilayah ghaib dan hikmah penciptaan
Dalam kerangka ini, Tuhan tidak hadir di “celah ketidaktahuan”, melainkan di struktur keberaturan itu sendiri.
◆ 4. ALAM SEMESTA => SIMFONI YANG TAK HABIS DIPAHAMI: Di balik setiap hukum alam tersimpan misteri ontologis — bukan sekadar karena kita belum tahu, tetapi karena ada lapisan realitas yang tidak dapat sepenuhnya diempiriskan.
Keteraturan konstanta fisika, harmoni medan gravitasi, hingga kehadiran kesadaran manusia, semuanya menunjukkan rantai peristiwa yang bermula dan berakhir di luar jangkauan laboratorium.
Maka, perbedaan antara sains dan spiritualitas bukan pada apa yang mereka lihat, tetapi pada cara mereka memaknai apa yang dilihat.
▪︎ Sains membaca hukum, spiritualitas membaca makna.
▪︎ Sains menjelaskan mekanisme, spiritualitas mengingatkan arah.
♣︎5.PENUTUP => DARI CELAH KE CAHAYA: Barangkali kita perlu meninggalkan konsep “Tuhan celah” dan beralih pada konsep “Tuhan struktur.”
Bahwa Tuhan tidak hadir karena kita belum tahu, tetapi karena seluruh keteraturan alam adalah tanda kehadiran-Nya, sebagaimana firman Allah “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru alam dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar.” (QS. Fuṣṣilat [41]: 53)
Jadi, setiap hukum fisika, setiap struktur biologis, setiap nyala kesadaran — bukanlah bukti “ketidakhadiran Tuhan”, melainkan jejak cahaya-Nya yang tersembunyi di balik keteraturan semesta.
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب
