Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
1.Pendahuluan: Menyatukan Kosmologi Kuantum dan Weltanschauung Tauhid
INDRAMAYU — Kajian modern dalam fisika fundamental menunjukkan bahwa pada skala Planck (10⁻⁴³ s), struktur ruang-waktu belum stabil. Di tahap itulah muncul fenomena yang dalam bahasa ilmiah modern dapat disebut sebagai waktu berlipat (folded time): yaitu keadaan ketika waktu tidak linear, tidak mengalir, dan belum memiliki arah. Waktu berada dalam kondisi proto-struktural yang belum terdefinisi.
Dalam perspektif tauhid, kondisi ini tidak mengancam teologi; justru memperluas horizon kebertuhanan, karena menunjukkan bahwa waktu itu bukan pemberi batas bagi Tuhan tetapi ciptaan yang tunduk pada-Nya. Qur’an sendiri memandang waktu bukan entitas absolut, melainkan dimensi yang diatur, dibalik, dilipat, dipanjangkan, dan dipendekkan oleh kehendak-Nya.
Konvergensi ini membuka jalan menuju teologi God of Whole—sebuah konsep Ketuhanan yang tidak hadir hanya sebagai “penutup celah”, tetapi sumber eksistensi seluruh realitas, baik yang teratur maupun yang kuantum–fluktuatif.
2.Waktu dalam Perspektif Qur’an: Masa, Yaum, dan Struktur Temporal yang Fleksibel
2.1. Masa: waktu sebagai rentang pengalaman ciptaan
Kata masa dalam Qur’an (misalnya QS. Al-Insān 2; QS. Al-Ahqāf 35) digunakan untuk menggambarkan rentang yang dialami makhluk.
“Masa” bukan entitas absolut—ia dapat panjang, pendek, elastis, berubah-ubah sejalan dengan dinamika ciptaan.
Ini relevan dengan pandangan fisika modern bahwa: waktu muncul bersamaan dengan peristiwa, dan waktu adalah relasional, waktu bergantung pada kondisi energi dan gravitasi.
Qur’an sejak awal menunjukkan bahwa waktu bukan makhluk yang tunggal, melainkan rangkaian durasi yang bergantung pada keadaan.
2.2. Yaum: bukan 24 jam, tetapi “fase kosmis”
Konsep yaum dalam Qur’an tidak sama dengan hari 24 jam.
Qur’an menyatakan: “sehari di sisi Tuhan seperti seribu tahun” (QS. Al-Hajj 47) dan “seperti lima puluh ribu tahun” (QS. Al-Ma‘ārij 4)
Ayat ini bukan metafora numerik, tetapi statemen kosmologis–teologis bahwa:
Terdapat banyak jenis waktu, banyak lapisan durasi, dan banyak skala temporal yang bergerak berbeda-beda.
Ini sangat analog dengan konsep dalam fisika: waktu relativistik, waktu termal, waktu kuantum, waktu Planck, waktu kosmologis.
Dalam kosmologi kuantum, sebelum ruang-waktu stabil, tidak ada “yaum” dalam pengertian klasik. Ada fase “non-yaum” — fase ketika struktur waktu belum muncul. Qur’an mengindikasikan fase ini dalam ayat penciptaan:
هَلْ أَتَىٰ عَلَى الْإِنسَانِ حِينٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْـًٔا مَّذْكُورًا
Bukankah telah datang atas manusia suatu waktu dari masa (dahr) ketika ia belum merupakan sesuatu yang disebut? (QS. Al-Insān 1)
Ayat ini memberi isyarat bahwa ada periode eksistensi tak-terdefinisi sebelum struktur mikro-ruang-waktu memungkinkan entitas disebut dan dibedakan.
2.3. Azal–Abad: Tuhan melampaui waktu karena waktu makhluk
Dalam disiplin kalam, azal berarti “ketiadaan awal bagi Allah”—bukan karena Allah berada dalam waktu tak berujung, tetapi karena:
Waktu itu sendiri adalah ciptaan—muncul setelah adanya penciptaan ruang.
Sementara abad bukan durasi waktu tak-berujung, tetapi statemen bahwa keterbatasan temporal tidak berlaku terhadap Allah.
Ayat-ayat seperti, “Dia setiap hari (yaum) dalam kesibukan” (QS. Ar-Rahmān 29) dan “Tidak menyentuh-Nya perubahan malam dan siang” (QS. Fussilat 38) menunjukkan bahwa Tuhan tidak “di dalam” waktu, tetapi mengatur berbagai jenis waktu milik semesta.
Dengan demikian:
Fenomena waktu berlipat bukan sesuatu yang “mengejutkan secara teologis”—melainkan konsekuensi logis bahwa waktu sebagai ciptaan pasti memiliki fase non-linear, non-stabil, atau fluktuatif pada tingkat fundamental.
3.Waktu Berlipat dalam Fisika Kuantum dan Implikasi Teologisnya
3.1. Ketika waktu belum linear: fase proto-ruang-waktu
Dalam fase awal semesta: tidak ada arah waktu (no arrow of time), tidak ada masa lalu–masa depan, tidak ada urutan sebab-akibat.
Ini sejalan dengan konsep Qur’ani bahwa:
Sebelum penciptaan langit dan bumi, tidak ada kategori temporal seperti yaum, masa, atau saa‘ah.
Karena Qur’an menyatakan:
ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ وَهِىَ دُخَانٌ
Kemudian Dia menuju langit dan ia masih berupa asap (QS. Fussilat 11)
Kata dukhân menandai fase ketidakberaturan (chaotic proto-state) — kondisi sangat mirip dengan “foam” kuantum (quantum foam) di mana ruang-waktu belum terdefinisi.
3.2. Ketidakpastian energi–waktu: “waktu berlipat” sebagai fenomena ciptaan
Fisika:
ΔE·Δt ≥ ħ/2 menunjukkan bahwa untuk ∆t sangat kecil, energi dapat berfluktuasi ekstrem.
Teologi:
Fluktuasi ekstrem ini tidak independen, tetapi terjadi dalam wilayah hukum ciptaan yang ditetapkan Tuhan.
Ayat relevan:
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ
Allah pencipta segala sesuatu (QS. Az-Zumar 62)
Termasuk: ruang, waktu, energi, dan bahkan ketidakpastian kuantum itu sendiri.
Dengan kata lain:
Ketidakstabilan waktu bukan “ketiadaan kendali”, tetapi bagian dari aturan dasar penciptaan.
3.3. Waktu multilapis: Qur’an dan konsep lapisan temporal
Fisikawan modern menyatakan waktu memiliki banyak lapisan: waktu kosmologis, waktu relativistik, waktu entropik, waktu kuantum, dan waktu Planck
Qur’an menggunakan istilah temporal yang multilapis pula: yaum (fase), saa‘ah (momen), dahr (rentang universal), hin (durasi tanpa struktur), dan abad (ketakberlakuan waktu atas Tuhan)
Keselarasan ini sangat penting dalam membangun teologi God of Whole:
Tuhan mengatur seluruh lapisan waktu—baik waktu linear maupun waktu kuantum yang belum terdefinisi.
4.Implikasi Teologis: God of Whole dan Ketakterikatan pada Waktu
Konsep God of Whole tidak menunggu celah dalam pengetahuan ilmiah untuk “mengisi”.
Ia menyatakan bahwa:seluruh struktur waktu, seluruh fluktuasi kuantum, seluruh ketidakpastian fundamental,
seluruh emergensi dari ke-chaotic-an menuju keteraturan adalah bagian dari cakupan kebertuhanan.
Waktu berlipat bukan ancaman teologis—justru bukti bahwa waktu bersifat kontingen.
Qur’an mengafirmasi:
وَلِلَّهِ مَا فِى السَّمَاوَاتِ وَمَا فِى الْأَرْضِ
Milik Allah apa yang di langit dan di bumi (QS. Al-Baqarah 284)
Termasuk struktur ruang-waktu sebelum menjadi langit dan bumi.
5.Kesimpulan
1.Fisika modern menemukan bahwa waktu di tingkat fundamental bersifat tidak linear, tidak stabil, dan dapat disebut sebagai waktu berlipat.
2.Qur’an memberikan konsep temporal yang sangat elastis dan multilapis: masa, yaum, dahr, hin, saa‘ah, yang kompatibel dengan pandangan fisika modern.
3.Dalam teologi, azal–abad menunjukkan ketakterikatan Tuhan terhadap struktur waktu mana pun.
4.Dengan demikian, fenomena proto-waktu dan waktu berlipat bukan ancaman teologis, tetapi penguat konsep God of Whole:
Tuhan bukan hanya “Pencipta awal”, tetapi Pencipta struktur waktu itu sendiri, termasuk fase non-linear dan kuantum.
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب
