Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
INDRAMAYU — Dalam perjalanan panjang manusia memahami alam semesta, ada satu garis merah yang terus datang dan pergi: apakah Tuhan hanya hadir di tempat-tempat yang belum kita pahami, atau justru dalam keteraturan yang membuat alam ini mungkin untuk dipahami? Pertanyaan ini menjadi jantung dari pembahasan antara konsep God of the Gaps—Tuhan dalam celah (ketidaktahuan)—dan konsep baru yang lebih matang: God of the Whole, Tuhan dalam keseluruhan (semesta).
Terdapat artikel yang telah membuka ruang dialog antara sains dan spiritualitas melalui gagasan lapisan realitas: fisikal, biologis, mental, hingga transenden. Artikel ini melanjutkan gagasan tersebut dengan cara yang lebih naratif: membawa pembaca menyelami bagaimana fisika paling awal dari alam semesta, khususnya pada era Planck, justru memberikan ilustrasi yang sangat indah tentang keteraturan kosmos yang dalam.
1.Ketika Empat Gaya Menjadi Satu
Di dunia sehari-hari, kita mengenal empat gaya yang mengatur semua fenomena fisik:
- gaya gravitasi yang menahan kaki kita di bumi,
- gaya elektromagnetik yang memungkinkan cahaya dan listrik,
- gaya lemah yang memicu proses radioaktif,
- gaya kuat yang mengikat inti atom.
Keempat gaya ini seolah sangat berbeda, seakan-akan masing-masing memiliki “kepribadian” sendiri. Namun para fisikawan menemukan bahwa pada awal sekali, ketika alam semesta baru berusia kurang dari 10‐⁴³ detik, semua gaya itu belum menjadi empat, tetapi menyatu dalam satu gaya tunggal. Kondisi ini dikenal sebagai era Planck—babak paling misterius dan paling fundamental dalam sejarah kosmos.
Gaya tunggal itu bukanlah gaya seperti yang kita bayangkan, tetapi sebuah medan simetris yang belum retak, belum terpecah menjadi jenis-jenis interaksi yang membuat dunia bisa berfungsi seperti sekarang. Ketika alam mendingin, simetri itu retak, dan lahirlah gaya-gaya fundamental yang kita pelajari dalam buku fisika.
Dengan kata lain, sebelum alam semesta menjadi rumit, ia terlebih dahulu berada dalam sebuah keteraturan yang sangat dalam.
2.Dari Laten ke Emergen: Ketika Potensi Menjelma Menjadi Hukum
Era Planck memberikan kita gambaran tentang bagaimana alam bekerja:
“Pada awalnya, keteraturan berada dalam bentuk laten, tersembunyi. Lalu, melalui proses kosmik, ia menjadi emergen, muncul menjadi hukum-hukum alam yang bisa kita amati.”
Gaya tunggal itu ibarat bibit kosmik: dalam dirinya terseimpan potensi seluruh hukum fisika yang muncul kemudian—kecepatan cahaya, massa partikel, bahkan struktur atom dan bintang.
Ketika simetri awal itu pecah, bukan hanya gaya-gaya yang lahir, tetapi seluruh arsitektur kosmos. Dari cahaya pertama hingga galaksi terakhir, semuanya berakar pada fase laten yang hampir tidak dapat dijangkau oleh imajinasi kita.
Inilah sebabnya, konsep laten–emergen menjadi kunci untuk memahami bahwa alam semesta tidak hanya “ada”, tetapi terstruktur.
3.Tuhan yang Tidak Tinggal di Celah
Pada titik ini kita dapat mengajukan pertanyaan, Apakah Tuhan hanya hadir ketika ilmu gagal menjelaskan sesuatu?
Jika kita memandang seperti itu, maka semakin bertambah pengetahuan manusia, semakin kecil ruang bagi Tuhan. Konsep inilah yang oleh banyak pemikir disebut God of the Gaps—sebuah model yang rapuh dan mudah runtuh oleh temuan ilmiah.
Namun, banyak artikel yang menegaskan bahwa spiritualitas tidak harus bertentangan dengan ilmu. Justru, jika kita membaca alam dengan cara yang lebih mendalam, kita melihat bahwa:
“Tuhan bukan hadir karena kita tidak tahu, tetapi karena seluruh keteraturan itu sendiri berdiri di dalam bingkai kehendak-Nya.”
Di sinilah God of the Whole menjadi pendekatan yang jauh lebih utuh.
Bahkan Al-Qur’an menegaskan dalam QS Al-Baqarah: 115, “Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah.”
Ayat ini mengajak kita memandang bahwa realitas fisik—timur, barat, interaksi partikel, hingga hukum gravitasi—semuanya berada dalam cakupan kehadiran-Nya. Bukan sebagai pengganti sains, tetapi sebagai fondasi makna dari keteraturan yang diamati sains.
4.Gaya Tunggal Sebagai Cermin Keteraturan Ilahi
Ketika kita melihat kembali gaya tunggal era Planck, kita menemukan dua pesan besar:
(1) Realitas memiliki fondasi keteraturan yang sangat dalam.
Bahkan sebelum materi dan cahaya lahir, ada struktur simetris yang menopang segalanya.
(2) Keteraturan itu memiliki sifat koheren yang mendukung eksistensi hukum alam.
- Universe tidak kacau; ia memiliki arsitektur.
- Dua gagasan ini selaras dengan konsep God of the Whole:
- bahwa Tuhan tidak hadir di daerah kosong pengetahuan,
- melainkan di dalam struktur yang membuat ilmu pengetahuan mungkin.
Gaya tunggal bukan pembuktian teologis, tetapi ilustrasi kosmologis tentang bagaimana keteraturan paling dasar semesta dapat dipahami sebagai bagian dari jejak keteraturan Ilahi.
5.Menjembatani Sains dan Makna
Di akhir pembahasan, kita dapat merumuskan hubungan antara sains dan spiritualitas dengan sederhana:
- Sains membaca mekanisme,
- Filsafat membaca struktur,
- Teologi membaca makna.
Ketiganya melihat realitas yang sama dari sisi yang berbeda.
Dengan demikian, gaya tunggal era Planck bukan sekadar konsep fisika; ia adalah pintu kontemplatif menuju pemahaman bahwa semesta memiliki arah, desain, dan koherensi.
Bukan sebagai bukti, tetapi sebagai ajakan untuk merenung.
Penutup: Dari Celah ke Cahaya
Ketika kita memahami bagaimana alam semesta dimulai dari satu kesatuan gaya, lalu berkembang menjadi struktur kosmik yang kompleks, kita melihat bahwa:
“Keteraturan adalah bahasa semesta. Dan, di balik keteraturan itu, terdapat jejak Sang Pengatur.”
Dengan cara ini, Tuhan tidak lagi ditempatkan pada celah ketidaktahuan kita, tetapi pada cahaya keteraturan yang menyelimuti seluruh semesta.
Sains tidak menjauhkan kita dari-Nya—ia justru dapat menjadi jalan untuk mengenali kebesaran-Nya yang tertanam dalam struktur realitas.
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب
