Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
INDRAMAYU — ♧PENDAHULUAN: Ketika tim peneliti dari NIH (National Institutes of Health) berhasil merilis model 3D paling detail dari sel manusia (Journal of Molecular Visualization, 2025), dunia sains kembali dibuat terpana. Gambar tersebut bukan sekadar visual artistik, melainkan hasil kompilasi dari data nyata — diperoleh melalui X-ray kristalografi, mikroskop elektron, dan pemodelan komputasi multi-skala.
Di dalam satu bingkai gambar itu, tersaji semesta kehidupan mikroskopis: mitokondria berdenyut seperti reaktor energi, ribosom bekerja bak pabrik perakitan, dan sitoplasma menjadi lalu lintas reaksi kimia tanpa henti.
Namun, di balik keindahan saintifik itu tersirat pertanyaan mendalam: bagaimana semua sistem ini dapat bekerja secara teratur, mandiri, dan berkesadaran instruktif — seolah-olah di dalam setiap sel terdapat “perintah cerdas” yang menuntun hidup?
♧TANDA-TANDA ILAHI DALAM STRUKTUR SEL: Al-Qur’an telah lama mengisyaratkan bahwa dalam diri manusia terdapat tanda-tanda Tuhan yang dapat disaksikan: “Dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS Adz-Dzāriyāt [51]:21)
Ayat ini menuntun manusia untuk tidak hanya melihat tubuh secara fisik, tetapi juga menembus ke dalam struktur mikroskopis yang mengatur kehidupan. Dengan teknologi mutakhir, ayat ini seperti menemukan bentuk visualnya: sebuah jagat molekuler yang berdenyut di dalam sel manusia.
Setiap protein, gen, dan reaksi kimia di dalamnya berjalan bukan secara acak, tetapi mengikuti kode instruksional yang tertulis dalam DNA — sistem kendali paling kompleks yang diketahui di alam semesta.
Struktur ini ibarat bahasa perintah: setiap transkripsi gen merupakan eksekusi dari rangkaian “kalimat biologis” yang mengatur kelahiran dan kematian sel. Di titik inilah, kita menemukan analogi yang mendalam dengan konsep teistik “Kun Fayakūn”.
♧ MAKNA BERLAPIS DARI “KUN FAYAKŪN” ANTARA PERINTAH TEISTIK DAN MEKANISME PENCIPTAAN MULTITEMPO: Ungkapan كُن فَيَكُونُ (kun fayakūn)—“Jadilah! Maka terjadilah”—(QS Yā Sīn [36]:82) sering dimaknai sebagai ekspresi kekuasaan mutlak Allah yang menjadikan segala sesuatu hanya dengan kehendak-Nya. Namun, jika ditinjau secara mendalam, ayat ini tidak semata menggambarkan keajaiban instan, melainkan juga menyiratkan adanya spektrum proses penciptaan yang bekerja dalam tempo berbeda, sesuai dengan konteks kehendak ilahi dalam tatanan kausalitas alam.
Dalam dimensi teistik, kata “kun” merepresentasikan perintah primordial—sebuah “instruksi kosmik” dari sumber kesadaran tertinggi, sedangkan “fayakūn” menggambarkan proses pelaksanaan perintah itu di dalam sistem hukum alam. Dengan demikian, “kun fayakūn” tidak hanya menunjuk pada penciptaan seketika, tetapi juga pada perwujudan bertahap yang tunduk pada hukum waktu, ruang, dan energi.
Berikut tiga lapisan makna “fayakūn” yang dapat dikaitkan dengan tempo penciptaan menurut spektrum kosmik dan ilmiah:
a. Penciptaan Instan (Tanpa Tempo)
Pada level ruhani dan metafisik, kun dapat memunculkan eksistensi seketika — tanpa ruang, waktu, atau medium. Misalnya, penciptaan ruh atau mukjizat tertentu yang melampaui hukum fisika biasa (QS Āli ‘Imrān [3]:47).
Fenomena semacam ini memiliki analogi menarik dalam fisika kuantum. Di ranah mikroskopis, terdapat proses yang terjadi begitu cepat hingga nyaris tanpa durasi terukur. Salah satu contohnya adalah fluktuasi vakum kuantum, di mana pasangan partikel dan antipartikel (virtual particles) muncul dan lenyap dalam waktu sekitar 10⁻²³ detik, waktu yang bahkan lebih cepat daripada getaran atom hidrogen.
Demikian pula, efek terowongan kuantum (quantum tunneling) menunjukkan bahwa partikel dapat “menembus” penghalang energi secara instan, tanpa melewati jalur ruang-waktu konvensional. Proses ini menggambarkan bahwa di dalam struktur dasar alam semesta terdapat domain realitas tanpa tempo, tempat keberadaan dan ketiadaan bertukar posisi dengan cepat—seolah-olah “kun fayakūn” termanifestasi dalam bahasa energi dan probabilitas.
b. Penciptaan Sedang (Tempo Kosmik dan Biologis)
Pada level semesta dan kehidupan, perintah “kun” diwujudkan melalui mekanisme beraturan dalam ruang dan waktu. Alam semesta sendiri tidak tercipta sekaligus, melainkan melalui proses bertahap: dari ledakan awal (Big Bang), pembentukan atom, bintang, galaksi, hingga planet yang memungkinkan kehidupan.
Begitu pula, kehidupan biologis mengikuti pola yang sama — bertumbuh, berevolusi, dan tersusun dari sistem informasi genetika (DNA) yang bekerja seperti kode perintah teistik, menjalankan instruksi penciptaan dengan presisi luar biasa. Dalam konteks ini, setiap sel membawa “ayat biologis” yang mencerminkan perintah “kun” di tingkat mikroskopis: sistem yang mampu mengatur, memperbaiki, dan menjalankan perintah kehidupan secara mandiri melalui bahasa molekuler yang canggih.
Sebagaimana firman Allah: “Dan pada dirimu sendiri, apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS Adz-Dzāriyāt [51]:21).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa tanda-tanda kekuasaan Ilahi juga tertulis di dalam diri manusia — di dalam sistem seluler, dalam denyut mitokondria, dan dalam harmoni molekul kehidupan yang bekerja sesuai “perintah” penciptaan.
c. Penciptaan Lambat (Tempo Evolusioner)
Lapisan ketiga dari fayakūn terwujud dalam proses panjang yang kita kenal sebagai evolusi kosmik dan biologis. Dalam tempo ini, kehendak Ilahi tidak tampak sebagai ledakan instan, tetapi sebagai arah dan keteraturan yang terus menuntun materi menuju bentuk kehidupan yang lebih kompleks dan sadar.
Proses ini tercermin dalam ayat: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan Kami) di segenap penjuru bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar.” (QS Fussilat [41]:53).
Ayat ini menunjukkan bahwa penciptaan adalah proses penyingkapan bertahap — suatu kontinuitas antara perintah Ilahi dan realisasi materialnya. Dengan demikian, sains modern yang menyingkap evolusi genetik, kompleksitas sel, hingga keteraturan hukum fisika sejatinya sedang membaca bentuk-bentuk “fayakūn” dalam waktu panjang.
Konsep kun fayakūn dalam pandangan semi-akademik ini dapat dipahami sebagai model integratif antara teologi dan kosmologi modern. “Kun” adalah kode perintah eksistensial, sedangkan “fayakūn” adalah mekanisme eksekusi yang tunduk pada hukum kausalitas yang diciptakan-Nya sendiri.
Dengan demikian, penciptaan dapat terjadi dalam tiga tingkat kecepatan berbeda:
1.Instan, sebagaimana fenomena kuantum dan penciptaan ruhani;
2.Sedang, sebagaimana proses biologis dan kosmik;
3.Lambat, sebagaimana evolusi alam dan kesadaran manusia.
Semua itu mengarah pada satu kesimpulan: bahwa perintah Tuhan tidak hanya bersifat metaforis, tetapi juga terkandung dalam struktur realitas itu sendiri—dari fluktuasi energi kuantum hingga kompleksitas genetik kehidupan.
♧ SISTEM KENDALI ILAHI DALAM DIRI MANUSIA: Jika kita menelaah sel manusia, tampak bahwa di dalamnya terdapat mekanisme kendali otomatis super canggih — mulai dari replikasi DNA, pengenalan kesalahan genetik, hingga pembentukan protein dengan urutan presisi kuantum.
Sistem ini tidak hanya menyimpan informasi, tetapi juga menginstruksikan dan menafsirkan informasi itu secara mandiri, seperti “logika perintah” yang menghidupkan seluruh jaringan.
Dengan demikian, setiap sel adalah refleksi mikrokosmos dari perintah ilahi. Ia tidak hanya hidup karena energi kimia, tetapi juga karena membawa “aroma instruksional” dari kehendak kun.
Dari perspektif teistik-prosesual, kehidupan biologis dapat dibaca sebagai tahapan berkesinambungan dari “fayakūn” yang masih berlangsung hingga kini — sebab penciptaan bukanlah peristiwa lampau, melainkan proses kontinu keberadaan.
♧KESIMPULAN: Ketika manusia menyelami kedalaman sel dengan teknologi, dan melihat betapa detail serta “cerdas”nya sistem biologis itu bekerja, maka seharusnya muncul kesadaran baru bahwa ayat-ayat Tuhan tidak hanya tertulis di mushaf, tetapi juga tertanam dalam tubuh.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah kebenaran.” (QS Fuṣṣilat [41]:53)
Maka, sains modern — ketika dibaca dengan hati yang jernih — justru memperlihatkan jejak “Kun Fayakūn” di balik hukum alam: bahwa kehidupan tidak hanya berproses karena materi, tetapi karena ada kehendak yang menata setiap molekul agar berfungsi dalam harmoni universal.
Dengan kata lain, sel manusia adalah ayat Tuhan dalam bentuk biologis, tempat di mana “perintah jadi” itu terus berlangsung dalam keheningan mikroskopis — sejak awal penciptaan hingga napas terakhir manusia.
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب
