Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
INDRAMAYU — ●PRAKOMENTAR: Tulisan berjudul “Punya Sebab ≠ Causa Prima” menyoroti kekeliruan logis yang kerap terjadi dalam filsafat dan teologi ketika prinsip “segala sesuatu pasti memiliki sebab” disamakan dengan konsep Causa Prima — yakni “penyebab pertama yang tidak disebabkan lagi.”
Menurut penulis, Causa Prima tidak dapat disimpulkan dari prinsip sebab-akibat umum karena ia merupakan postulat metafisik, bukan kesimpulan logis atau empiris. Ia menilai bahwa ketidakterbatasan bukanlah sifat Tuhan sebagai entitas, melainkan milik proses realitas itu sendiri yang bersifat regresi tanpa akhir (infinite regress). Dengan kata lain, realitas tidak bermula dan tidak memiliki penyebab pertama.
Pandangan ini menarik karena memunculkan kembali perdebatan klasik antara teisme kausal, kosmologi tanpa awal, dan filsafat non-dualisme (seperti Vedanta dan Buddhisme).
● MENINJAU KEMBALI KAUSALITAS=> DARI LINEAR KE NONLINEAR: Konsep sebab-akibat (kausalitas) secara tradisional dipahami secara linear dan temporer: sebab mendahului akibat dalam arah waktu yang tetap. Model ini bekerja dengan baik pada level mekanika klasik Newtonian, di mana setiap gerak benda memiliki penyebab dan hasil yang terukur.
Namun, fisika kuantum memperlihatkan keretakan mendasar dalam pandangan ini. Fenomena seperti entanglement (keterikatan kuantum) dan delayed-choice experiment (Wheeler, 1984; Ma et al., Nature Physics, 2016) menunjukkan bahwa urutan waktu antara sebab dan akibat dapat menjadi kabur. Dalam kasus ekstrem, akibat dapat memengaruhi keadaan sistem di masa lalu — inilah yang disebut retrokausalitas.
Retrokausalitas tidak berarti waktu “berbalik arah,” melainkan bahwa struktur ruang-waktu pada level kuantum tidak tunduk pada arah temporal tunggal. Sebab dan akibat menjadi koheren, bukan berurutan. Dalam terminologi Carlo Rovelli (2022), waktu pada level fundamental bukanlah entitas fisik, melainkan relasi informasi antar-kejadian.
● KAUSALITAS DALAM RUANG TANPA WAKTU: SEBAB YANG TIDAK “MENDAHULUI ”: Jika pada level kuantum hubungan sebab-akibat tidak tunduk pada waktu, maka premis “segala sesuatu memiliki sebab” kehilangan makna universalnya. Di wilayah mikroskopik, realitas mungkin muncul dari relasi non-temporal antara peristiwa, bukan dari sebab linear yang mendahului akibat.
Hal ini memperkuat argumen bahwa Causa Prima tidak dapat dipahami dengan model kausalitas klasik. Bila “sebab” dan “akibat” tidak memiliki urutan mutlak, maka konsep “penyebab pertama” pun menjadi nonsens — sebab “pertama” hanya bermakna bila ada “waktu” yang mengalir secara linier.
Dengan demikian, Causa Prima tidak bisa didefinisikan dalam kerangka ruang-waktu, melainkan harus dipahami sebagai asas eksistensial non-temporal. Dalam bahasa teologis Islam, konsep ini sejajar dengan istilah Kun fayakūn (كُن فَيَكُونُ) — perintah ilahi yang menembus ruang dan waktu, di mana eksistensi muncul secara instan tanpa urutan sebab-akibat fisikal.
● IMPLIKASI FILOSOFIS DAN TEOLOGIS: Fenomena retrokausalitas menantang batas antara sains empiris dan metafisika. Jika hubungan sebab-akibat tidak absolut, maka keberadaan semesta dapat dibaca bukan sebagai “rantai sebab tanpa awal,” melainkan sebagai jaringan koherensi eksistensial yang muncul dari prinsip lebih dalam — entah disebut “Ketakterbatasan Tuhan” atau “Kesatuan Kuantum Realitas.”
Dalam teologi Islam klasik, Imam al-Ghazālī dalam Tahāfut al-Falāsifah menyatakan bahwa kausalitas bukanlah keniscayaan ontologis, melainkan kebiasaan (ʿādah) yang Allah tetapkan dalam ciptaan. Artinya, apa yang tampak sebagai sebab-akibat hanyalah manifestasi kehendak Ilahi dalam urutan fenomenal, bukan dalam makna hakiki.
Dengan demikian, retrokausalitas kuantum justru membuka ruang dialog baru antara sains dan teologi:
bahwa di balik struktur ruang-waktu yang tampak, terdapat asas non-temporal yang menjadi dasar keberadaan — dan dalam bahasa iman, itulah yang disebut Tuhan sebagai Wujūd Mutlak, bukan causa prima dalam pengertian mekanistik.
●KESIMPULAN: Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari paparan du atas sbb.
- Hukum sebab-akibat bersifat valid secara lokal, tetapi gagal secara universal.
- Pada tingkat kuantum, hubungan sebab-akibat menjadi non-linier dan non-temporal (retrokausal).
Dengan demikian, Causa Prima tidak dapat dijelaskan dengan logika sebab-akibat klasik, melainkan harus dipahami sebagai asas eksistensi non-waktu.
Dalam perspektif teistik, hal ini mendekatkan kita pada gagasan bahwa eksistensi berasal dari perintah ilahi yang melampaui ruang dan waktu (Kun Fayakūn).
● Referensi
Wheeler, J. A. (1984). Quantum Theory and Measurement. Princeton University Press.
Ma, X., et al. (2016). “Quantum Delayed-Choice Experiment.” Nature Physics, 11(6), 480–484.
Rovelli, C. (2022). Helgoland: Making Sense of the Quantum Revolution. Penguin Books.
Price, H. (1996). Time’s Arrow and Archimedes’ Point. Oxford University Press.
Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah (ed. M. Bouyges, 1927).
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب
