Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
INDRAMAYI — ●OTAK YANG MENJADI TUA KARENA PENGULANGAN: Para ahli neurosains modern mengungkapkan bahwa penuaan otak tidak semata-mata disebabkan oleh waktu, tetapi oleh pengulangan. Kehidupan yang monoton—tanpa kebaruan, tanpa tantangan baru, tanpa pengalaman baru—membuat aktivitas saraf menurun karena otak berhenti membentuk koneksi baru (synaptic plasticity). Dalam kondisi seperti itu, pikiran manusia tidak benar-benar “tua” oleh usia, tetapi “tumpul” oleh rutinitas.
Setiap kali manusia mempelajari keterampilan baru, menjelajahi tempat baru, atau menghadapi situasi tak terduga, otaknya menumbuhkan koneksi baru dan memperkuat yang lama. Proses ini disebut neuroplastisitas — kemampuan luar biasa otak untuk beradaptasi, berinovasi, dan mencipta ulang dirinya sendiri.
●KEBARUAN SEBAGAI CERMIN DARI AL-KHĀLIQ DAN AL-BADĪ ‘: Jika dicermati lebih dalam, pola kerja otak manusia ini menggambarkan fitrah kreatif yang telah Allah tanamkan dalam diri manusia. Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Al-Khāliq (Maha Pencipta) — yang terus mencipta dan menumbuhkan ciptaan-Nya dengan keteraturan dan inovasi. Dalam surah Al-‘Ankabūt [29]: 20 Allah berfirman, “Katakanlah, berjalanlah di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan…”
Ayat ini bukan hanya perintah untuk melihat ciptaan, tetapi juga dorongan untuk meniru pola kreatif-Nya — mengamati, berpikir, dan memperbarui diri. Dalam konteks neurosains, aktivitas mencari hal baru dan belajar tanpa henti merupakan bentuk tajalli (manifestasi kecil) dari sifat Al-Khāliq dalam diri manusia: mencipta koneksi, bukan sekadar mengulang kebiasaan.
Lebih jauh, sifat Al-Badī‘ (Maha Pencipta yang Unik) mengajarkan pentingnya inovasi dan kebaruan. Allah menciptakan tanpa contoh sebelumnya; dan manusia, sebagai makhluk yang diberi akal dan ilham, dipanggil untuk meniru semangat kreatif itu — menciptakan hal-hal baru, berpikir di luar pola lama, dan menantang kebiasaan yang membatasi pertumbuhan.
Ketika seseorang berani keluar dari “zona nyaman”, ia sesungguhnya sedang meneladani Al-Badī‘: berinovasi dalam lingkup manusiawi, dan menghidupkan kembali semangat penciptaan di tingkat neural.
●AL-MUSAWWIR DAN KEINDAHAN DALAM DIFERENSIASI:Sementara sifat Al-Musawwir (Maha Pembentuk Rupa) menunjukkan bahwa setiap bentuk kehidupan, setiap wajah, dan setiap pengalaman memiliki bentuk unik yang dirancang secara cermat.
Dalam skala otak, hal ini mirip dengan bagaimana pengalaman baru “membentuk ulang” jaringan saraf. Setiap pengalaman yang berbeda memberi bentuk baru pada otak kita — menjadikannya semakin kompleks, halus, dan indah dalam pola kerjanya.
Dengan demikian, belajar hal baru bukan sekadar aktivitas mental, tetapi juga ibadah kreatif: proses menata ulang struktur batin agar lebih mencerminkan kesempurnaan ciptaan Allah.
● DARI ATOM KE NEURON=> SUNNATULLAH DALAM SKALA MIKRO: Pada tataran atomik, hukum keteraturan yang sama juga berlaku. Elektron berputar di orbitnya dengan presisi, proton dan neutron menjaga keseimbangan inti atom, dan perubahan kecil dalam interaksi gaya ini dapat mengubah seluruh sifat materi.
Begitu pula dengan otak manusia: perubahan kecil dalam kebiasaan, rutinitas, dan cara berpikir dapat menghasilkan perubahan besar pada kapasitas kognitif dan spiritual.
Ini adalah bukti bahwa sunnatullah (hukum Allah) bekerja konsisten dari tingkat partikel hingga kesadaran manusia — selalu menuntut dinamika, keseimbangan, dan inovasi.
● REFLEKSI SPIRITUALITAS KOGNITIF: Dengan meneladani sifat-sifat Allah yang kreatif dan dinamis, manusia sebenarnya sedang memperluas kapasitas rohaninya melalui dimensi biologisnya sendiri.
Otak yang aktif dan terus belajar adalah otak yang meniru Al-Khāliq. Pikiran yang berani berinovasi adalah pikiran yang meniru Al-Badī‘. Jiwa yang mampu melihat keindahan dalam keragaman dan perubahan adalah jiwa yang meniru Al-Musawwir.
Maka, menjaga otak agar tetap muda bukan hanya soal latihan kognitif, tetapi juga soal spiritualitas.
Allah mengajarkan manusia untuk tidak berhenti mencipta, berpikir, dan belajar, karena stagnasi berarti menjauh dari hakikat penciptaan itu sendiri.
KESIMPULAN:Penuaan pikiran tidak terjadi karena berlalunya waktu, tetapi karena berhentinya kebaruan.
Meniru sifat Allah yang Maha Pencipta, Maha Inovatif, dan Maha Pembentuk adalah jalan untuk memperbaharui konektivitas otak sekaligus memperdalam kesadaran ruhani.
Setiap pengalaman baru, setiap ilmu baru, setiap refleksi baru — adalah cara otak menyembah melalui ciptaannya.
“Setiap hari Dia dalam kesibukan (mencipta dan mengatur ciptaan-Nya).”QS. Ar-Rahman [55]: 29
Manusia yang terus belajar dan berinovasi, sesungguhnya sedang menapaki jejak Ilahi yang senantiasa mencipta — tanpa henti, tanpa pengulangan.
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب
