Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
INDRAMAYU — ●PENDAHULUAN: Apakah kehidupan berakhir ketika tubuh berhenti bernapas?
Pertanyaan ini tak hanya milik para teolog, tetapi juga fisikawan, filsuf, dan neurosaintis. Dalam pandangan umum sains modern, kesadaran dianggap sebagai hasil aktivitas listrik dan kimia di otak. Ketika neuron berhenti bekerja, kesadaran pun padam.
Namun, sejumlah teori terbaru dalam fisika kuantum dan kosmologi informasi mulai menggoyang pandangan itu. Mereka mengajukan gagasan bahwa informasi kesadaran tak sepenuhnya terikat pada tubuh biologis, melainkan mungkin tersimpan dalam struktur ruang-waktu itu sendiri.
Dalam Islam, manusia memiliki ruh — unsur immaterial yang tak tunduk pada hukum fisika. Ruh inilah yang tetap hidup setelah kematian jasmani dan melanjutkan perjalanan ke alam barzakh.
Menariknya, ketika fisika kuantum berbicara tentang “non-lokalitas” dan “konservasi informasi,” ada gema yang terasa akrab dengan konsep ruh: sesuatu yang tak musnah, hanya berpindah wujud.
Tulisan ini mencoba menjembatani dua pandangan besar itu — antara sains dan teologi — untuk melihat kesadaran sebagai fenomena pascabiologis, sesuatu yang mungkin melampaui tubuh dan waktu.
● Kesadaran Menurut Sains: Bagi neurosains klasik, kesadaran hanyalah hasil kerja otak.
Triliunan sel saraf yang saling terhubung menciptakan arus listrik, lalu muncullah pengalaman subjektif — rasa, pikiran, dan ingatan. Namun, muncul pertanyaan besar yang tak kunjung terjawab: mengapa proses fisik murni bisa menimbulkan “pengalaman batin”? Inilah yang disebut the hard problem of consciousness oleh David Chalmers (1995).
Jika kesadaran hanyalah hasil sinapsis, maka ia seharusnya mati bersama otak. Tetapi bukti-bukti baru, dari mimpi sadar (lucid dream) hingga pengalaman mendekati kematian (near-death experiences), mulai menantang anggapan itu. Mungkin, kesadaran tidak sepenuhnya bergantung pada tubuh biologis.
● Jejak Kesadaran di Dunia Kuantum: Fisikawan Roger Penrose dan Stuart Hameroff mengajukan teori yang menarik: kesadaran muncul dari proses kuantum dalam mikrotubulus neuron — struktur halus di dalam sel otak.
Teori ini dikenal sebagai Orchestrated Objective Reduction (Orch-OR). Menurut mereka, kesadaran bukanlah hasil kimia belaka, melainkan fenomena yang terhubung dengan struktur dasar realitas, yaitu ruang-waktu kuantum (Penrose & Hameroff, 2014).
Teori ini memiliki kemiripan dengan prinsip holografik yang diajukan Leonard Susskind (1995), di mana seluruh informasi alam semesta seolah tersimpan di permukaan dua dimensi ruang-waktu.
Artinya, informasi — termasuk memori dan kesadaran manusia — mungkin tidak pernah hilang, bahkan ketika tubuh fisik berhenti berfungsi.
Fenomena entanglement dalam fisika kuantum juga mengisyaratkan bahwa dua partikel yang pernah berinteraksi bisa tetap terhubung walau terpisah jarak kosmik.
Jika kesadaran bekerja dengan prinsip serupa, mungkin sebagian dari “diri” kita tetap berhubungan dengan jagat raya — bahkan setelah kematian.
Dengan demikian, kematian biologis bisa dipahami bukan sebagai akhir, melainkan peralihan dari wujud kesadaran lokal (otak) ke kesadaran non-lokal (kosmik).
● Informasi yang Tak Pernah Hilang: David Bohm, fisikawan yang terkenal dengan konsep implicate order, menggambarkan alam semesta sebagai jaringan informasi yang saling menembus dan saling terkait.
Bagi Bohm, realitas yang kita lihat hanyalah “lipatan luar” dari struktur yang jauh lebih dalam dan menyatu.
Dalam pandangan ini, memori manusia mungkin bukan sekadar tersimpan dalam otak, melainkan terukir dalam “lapisan dalam” kosmos.
Kematian jasmani hanya mengubah bentuk eksistensi informasi itu — tidak menghapusnya. Seperti energi yang tidak bisa dimusnahkan, kesadaran pun mungkin berpindah bentuk, tetap eksis dalam bentuk informasi kuantum yang tak kasat mata.
● Ruh, Foton, dan Alam Tanpa Waktu: Einstein pernah menunjukkan bahwa bagi cahaya, waktu tidak berjalan.
Foton — partikel cahaya — tidak mengalami masa lalu, kini, atau masa depan. Bagi foton, peristiwa emisi (keluar dari sumber) dan absorpsi (diterima mata kita) terjadi bersamaan. Dalam kerangka waktu manusia, cahaya mungkin menempuh miliaran tahun; bagi foton, semuanya berlangsung sekejap — bahkan tanpa waktu.
Analogi ini menarik ketika diterapkan pada konsep ruh.
Jika ruh memang berasal dari “cahaya Ilahi” sebagaimana disebut dalam banyak teks Islam klasik, maka ia bisa dianggap sebagai “entitas non-temporal” — tak terikat waktu, tak terkurung ruang. Ruh tidak berjalan di sepanjang waktu, melainkan melampauinya.
● Barzakh dan Non-Lokalitas: Dalam Al-Qur’an, ruh ditiupkan ke dalam jasad oleh Allah (QS. As-Sajdah [32]:9), dan setelah kematian ia berpindah ke alam barzakh (QS. Al-Mu’minūn [23]:99–100).
Barzakh sering dipahami sebagai ruang antara — bukan dunia fisik, bukan pula akhirat. Dalam kacamata fisika modern, konsep ini bisa disejajarkan dengan “ruang non-lokal,” di mana informasi tetap ada meskipun wadah biologisnya telah tiada.
Konsep Teologis | Padanan Ilmiah
▪︎ Ruh | Kesadaran non-lokal
Ruh dalam konsep teologis berpadanan dengan kesadaran non-lokal dalam konsep ilmiah.
Barzakh | Ruang transisi kuantum
Barzah dalam konsep teologis sebagai tempat kematian biologis berpadanan dengan dekoherensi sistem material dalam konsep ilmiah.
Sufi besar seperti Al-Ghazali dalam Mishkat al-Anwar menyebut ruh sebagai jauhar basīth — zat tunggal yang sederhana namun menembus segala bentuk kehidupan.
Deskripsi ini sangat dekat dengan gagasan fisika modern tentang medan energi universal yang melandasi seluruh realitas.
● KESIMPULAN –> Antara Ruh dan Informasi Abadi: Sains dan agama mungkin menggunakan bahasa yang berbeda, tetapi keduanya tampak bergerak ke arah yang sama.
Fisikawan berbicara tentang informasi yang tidak pernah hilang, sementara para teolog berbicara tentang ruh yang abadi.
Dua istilah, satu makna: kesadaran tidak musnah, hanya berubah bentuk.
Mungkin benar, hidup setelah mati bukan hanya kepercayaan spiritual, melainkan juga kemungkinan ilmiah.
Kesadaran — atau ruh — bisa jadi adalah informasi kuantum yang abadi, menyeberangi batas ruang dan waktu, dan menjadi bagian dari memori kosmik semesta.
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب
