Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
INDRAMAYU — Apakah mungkin suara—terutama yang bernuansa spiritual seperti bacaan Al-Qur’an—bisa memengaruhi gen dalam tubuh manusia? Pertanyaan ini dulu mungkin terdengar mistis. Namun, temuan mutakhir dalam bidang neurogenetika dan epigenetika akustik kini mulai membuka tabir hubungan antara frekuensi suara, kesadaran, dan ekspresi genetik.
■ DARI GEN KE SPIRITUALITAS: Pada awal dekade 2000-an, Dr. Dean Hamer, seorang ahli genetika dari National Institutes of Health (NIH), memperkenalkan hipotesis terkenal yang disebut “The God Gene” (VMAT-2) dalam bukunya The God Gene: How Faith Is Hardwired into Our Genes (2004). Menurutnya, gen ini berperan dalam mengatur neurotransmiter seperti dopamin, serotonin, dan norepinefrin — molekul yang berkaitan erat dengan perasaan damai, cinta, dan kesadaran spiritual.
Hamer menjelaskan, “Spirituality is one of our basic human inheritances; it is deeply rooted in our biology.” (Dean Hamer, The God Gene, 2004, p. 7)
Dengan demikian, spiritualitas bukan semata hasil pendidikan atau budaya, melainkan kecenderungan biologis alami yang melekat dalam sistem saraf manusia. Dalam kerangka Islam, ini beririsan dengan konsep fitrah sebagaimana dalam QS. Ar-Rūm [30]:30, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.”
■ SEL YANG “MENDENGAR ” SUARA: Sebuah studi inovatif dari Universitas Kyoto (Kyoto University, 2025) menemukan bahwa gelombang suara yang terdengar dapat mengubah aktivitas gen. Ketika sel tubuh diekspos pada getaran suara lembut (dalam rentang pendengaran manusia normal), sekitar 190 gen mengalami perubahan ekspresi, termasuk gen yang mengatur adhesi sel, peradangan, dan metabolisme lipid.
(Hiroshi Kudo et al., “Acoustic Modulation of Mechanosensitive Gene Expression and Adipocyte Differentiation,” Nature Communications Biology, April 2025.)
Peneliti menegaskan bahwa fenomena ini bekerja melalui mekanotransduksi, yakni proses ketika tekanan fisik atau getaran suara diubah menjadi sinyal biokimia dalam sel.
Dengan kata lain, sel-sel tubuh benar-benar “mendengar” dan menanggapi suara.
Hal ini mengingatkan kita pada firman Allah. “Dan tidak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, hanya kamu tidak mengerti tasbih mereka.” (QS. Al-Isrā’ [17]:44)
Jika seluruh alam bertasbih dalam frekuensi yang dapat didengar Allah, maka tidak mustahil suara suci pun membawa efek biologis yang dapat dirasakan tubuh manusia.
■ KETIKA SUARA MENJADI DOA => RESONANSI SPIRITUAL: Penelitian di bidang neurofisiologi Islam juga menunjukkan hasil serupa. Studi yang dilakukan oleh Dr. Ahmed El Kadi di Florida (1987) mengukur respons fisiologis 31 relawan yang mendengarkan bacaan Al-Qur’an. Hasilnya menunjukkan penurunan signifikan tekanan darah, frekuensi jantung, dan aktivitas listrik otot — tanda tubuh memasuki kondisi relaksasi dalam. (Proceedings of the First International Conference on Islamic Medicine, 1987).
Temuan ini didukung penelitian modern oleh Prof. Mansour Al-Kadhi dan Dr. Mohamed Haneef (2018) yang menemukan bahwa mendengarkan Al-Qur’an meningkatkan aktivitas gelombang otak alfa, yaitu gelombang yang terkait dengan ketenangan, fokus, dan penyembuhan emosi. (Journal of Religion and Health, Vol. 57, 2018).
Fenomena ini selaras dengan firman Allah dalam QS. Yunus [10]:57, “Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.”
Ayat ini bukan hanya metafora rohani; ia berkelindan dengan prinsip biologis bahwa gelombang suara wahyu dapat menata ulang homeostasis tubuh dan menenangkan sistem saraf. Dalam istilah modern: Al-Qur’an adalah resonansi penyembuhan Ilahi.
■ FREKUENSI PENCIPTAAN DAN NEUROPLASTISITAS ILAHI: Pada tingkat atomik, seluruh realitas merupakan getaran energi. Fisika kuantum menyebut bahwa elektron dan proton tidak diam, melainkan berosilasi dalam frekuensi alami yang membentuk stabilitas materi (Heisenberg, Quantum Theory and the Structure of Matter, 1930).
Gelombang suara, cahaya, dan medan elektromagnetik merupakan bagian dari frekuensi penciptaan — pola keteraturan yang menjadi dasar seluruh eksistensi. Dalam teologi Islam, keteraturan ini mencerminkan sifat-sifat Allah yang kreatif:
▪︎ Al-Khāliq (Maha Pencipta): yang memulai wujud dari ketiadaan.
▪︎ Al-Badī‘ (Maha Inovator): yang mencipta tanpa contoh sebelumnya.
▪︎ Al-Muṣawwir (Maha Pembentuk Rupa): yang memberi bentuk estetis pada setiap ciptaan.
Ketika manusia meniru sifat-sifat ini melalui kreativitas, inovasi, dan pembelajaran baru, maka otaknya memperkuat neuroplastisitas — kemampuan membangun koneksi saraf baru.
Inilah yang disebut “neuroplastisitas ilahi” — proses biologis yang selaras dengan pola ciptaan Allah yang senantiasa baru (kulla yaumin huwa fī sya’n, QS. Ar-Rahman [55]:29).
■ MENYIMAK SUARA TUHAN DALAM DIRI: Jika sel-sel tubuh mampu mendengar suara dan menyesuaikan gen-gen di dalamnya, maka boleh jadi tubuh manusia sedang “mendengarkan” semesta.
Bacaan ayat suci bukan hanya bentuk ibadah, melainkan gelombang penyembuh yang menata sistem saraf dan kesadaran.
Ayat-ayat suci beresonansi hingga ke tingkat sel, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Isrā’ [17]:82, “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
Di sinilah, ilmu modern menemukan kembali apa yang telah lama dinyatakan wahyu:
Bahwa suara wahyu adalah energi penyembuhan yang merasuk hingga inti kehidupan — DNA itu sendiri.
■ Penutup: Kajian God Gene dan epigenetika akustik mengajarkan bahwa spiritualitas bukan hanya fenomena psikis, tetapi juga biologis.
Jika getaran suara biasa dapat menata ulang ekspresi gen, maka bacaan wahyu ilahi pastilah membawa resonansi lebih dalam — sebab ia selaras dengan fitrah penciptaan dan hukum kosmik Ilahi.
Mungkin, sebagaimana seluruh makhluk yang bertasbih, DNA kita pun turut berzikir, menyambut frekuensi langit dalam setiap lantunan wahyu.
“Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku.”
(QS. Asy-Syu‘arā [26]:80)
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب
