Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
Tokoh-tokoh:
1.Dr. Arda Kuswandi – Fisikawan Kuantum, sangat empiris, naturalis, skeptis metafisika.
2.Prof. Nayla Rahmi – Filsuf Kontinental, fenomenolog-hermeneutik, menekankan struktur pengalaman dan batas rasio.
3.Syekh Malik al-Hayyam – Teolog Metafisika, menekankan wujud non-ruang-waktu sebagai realitas primer.
SCENE: RUANG DISKUSI AKADEMIS
1.Pembukaan
INDRAMAYU — Arda (Fisikawan):
Saya ingin mulai dari satu prinsip: hukum sebab-akibat hanya bermakna bila kita berbicara tentang ruang-waktu. Dalam mekanika kuantum, kita sudah melihat beberapa fenomena yang tidak mengikuti kausalitas klasik—tetapi bukan berarti “bebas kausalitas”, hanya kausalitasnya lain.
Nayla (Filsuf):
Arda, kau bicara seolah kausalitas itu entitas objektif. Dalam filsafat, kausalitas adalah struktur penataan pengalaman. Jika ada wilayah realitas yang tidak terjangkau pengalaman, kausalitas bisa runtuh. Masalahnya: bagaimana kita berbicara soal sesuatu yang tidak masuk pengalaman manusia?
Malik (Teolog):
Justru di situlah letak pentingnya metafisika. Entitas non-ruang-waktu, bila wujudnya absolut, tidak tunduk pada kausalitas yang hanya berlaku di dalam ruang-waktu. Kausalitas adalah hukum ciptaan, bukan hukum bagi pencipta.
2.Perbedaan Sudut Pandang Mulai Mengencang
Arda (Fisikawan – tajam dan kritis):
Saya harus menekankan: semua contoh “non-kausal” dalam fisika masih terjadi di dalam ruang-waktu. Contohnya:
– tunneling kuantum
– entanglement
– fluktuasi vakum
Tidak ada satu pun yang mengisyaratkan entitas yang “bukan bagian alam”. Jadi, klaim bahwa ada wujud non-ruang-waktu adalah spekulasi yang tidak dapat diverifikasi secara empiris.
Malik (Teolog – tegas dan tandas):
Tentu saja tidak dapat diverifikasi oleh instrumen yang berada di dalam ruang-waktu. Bagaimana mungkin yang terbatas memverifikasi Yang Tak-Terbatas?
Kausalitas adalah relasi antara perubahan—dan perubahan hanya ada dalam waktu. Maka entitas yang tidak berada dalam waktu tidak bisa “menjadi” penyebab. Ia berada di luar rantai.
Nayla (Filsuf – tajam retoris):
Kalian berdua mengasumsikan bahwa kausalitas adalah hubungan ontologis. Padahal bisa jadi kausalitas justru produk kesadaran kita dalam menata peristiwa.
Jika ada entitas non-ruang-waktu, bisa jadi ia “tanpa sebab”, tapi mungkin hanya “tanpa sebab dalam persepsi manusia”. Kita bicara tentang batas bahasa kita.
3.Ketegangan Argumen
Arda: Tapi Nayla, tanpa kausalitas objektif, sains runtuh. Jika entitas non-ruang-waktu bisa bertindak tanpa sebab, bagaimana kita menyebutnya “entitas” sama sekali? Tanpa hukum, tanpa struktur, itu bukan objek kajian—hanya kata-kata.
Nayla: Atau, mungkin justru sains harus mengakui batasnya. Persis seperti fisika klasik runtuh di hadapan kuantum. Ruang-waktu bisa runtuh di hadapan dimensi yang tidak kita pahami.
Malik: Saya melihat justru sebaliknya: runtuhnya ruang-waktu pada skala ekstrem menguatkan metafisika.
Ketika relasi sebab-akibat berhenti pada singularitas, atau ketika waktu “menghilang” pada gravitasi kuantum, bukankah itu menunjukkan bahwa ruang-waktu bukan realitas paling fundamental?
Arda: Itu bukan argumen metafisika. Itu hanya menunjukkan teori kita belum lengkap, bukan bahwa ada entitas di luar ruang-waktu.
Malik: Tetapi logika sederhana mengatakan:
Jika A hanya ada di dalam ruang-waktu, dan ruang-waktu bermula, maka sumber A harus di luar ruang-waktu.
Arda (menyerang balik):
Itu premis metafisika, bukan ilmiah.
Malik (membalas): Dan ilmiah tidak selalu berarti lengkap.
4.Klimaks Pemikiran: Pertanyaan Hakiki Nayla (menengahi, namun memperuncing):
Pertanyaannya bukan “apakah ada entitas di luar ruang-waktu”, tetapi:
Apakah konsep ‘sebab-akibat’ masih bermakna ketika kita melewati lingkup ruang-waktu?
Jika tidak, maka:
– entitas non-ruang-waktu tidak memerlukan sebab;
– hukum kausalitas lahir bersama ruang-waktu;
– dan kita tidak boleh memaksakan hukum ruang-waktu ke realitas yang lebih dasar.
Arda (menghela napas):
Saya tidak keberatan secara konseptual. Tetapi dari sisi sains, klaim itu tak punya prediksi teruji.
Malik: Tidak semua realitas harus terukur untuk menjadi real.
Arda: Itu posisi agama, bukan sains.
Nayla: Dan justru itu menunjukkan: kita memerlukan ketiga pendekatan—fisika, filsafat, dan teologi—untuk memahami batas kosmos ini.
5.Penutup: Tiga Pernyataan Ringkas
Arda (Fisikawan): “Tanpa empirisme, kita hanya berspekulasi. Entitas non-ruang-waktu adalah kemungkinan filosofis, bukan kesimpulan ilmiah.”
Nayla (Filsuf): “Kausalitas mungkin milik pengalaman manusia, bukan milik seluruh realitas. Di luar ruang-waktu, kausalitas bisa hilang.”
Malik (Teolog): “Ada Wujud yang tidak terikat ruang, waktu, maupun sebab. Justru karena itu Ia mampu melahirkan semuanya.”
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب
