Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
INDRAMAYU — ●PENDAHULUAN: Kemajuan bioteknologi modern menghadirkan kembali perbincangan klasik tentang asal-usul kehidupan. Ketika ilmuwan dari Hubrecht Institute (Belanda) berhasil menciptakan model embrio manusia tanpa sel telur dan tanpa pembuahan alami, dunia sains dan filsafat penciptaan kembali dihadapkan pada pertanyaan mendasar:
Apakah kehidupan dapat muncul tanpa fertilisasi biologis? Dan, sejauh mana eksperimen semacam itu berhubungan dengan narasi penciptaan Hawa dari diri Adam dalam Al-Qur’an?
● MODEL EMBRIO TANPA PEMBUAHAN: “BLASTOID ” SEBAGAI FENOMENA BARU: Peneliti di Hubrecht Institute menggunakan sel punca pluripoten terinduksi (iPSC) — yaitu sel tubuh dewasa yang diprogram ulang menjadi sel yang menyerupai sel embrionik. Ketika diberi sinyal kimia tertentu, sel-sel ini dapat mengorganisasi diri menjadi struktur yang disebut blastoid, mirip dengan blastokista (tahap awal embrio manusia).
Struktur ini memiliki tiga bagian utama:
▪︎ Trofektoderm, bakal plasenta,
▪︎ Epiblas, bakal janin,
▪︎ Hipoblas, pembentuk kantung kuning telur.
Eksperimen ini memungkinkan studi mendalam tentang kegagalan implantasi embrio, penyebab keguguran dini, dan efisiensi teknologi bayi tabung (IVF) tanpa melanggar batas etika penciptaan manusia. Namun, blastoid ini tidak memiliki potensi untuk tumbuh menjadi bayi karena tidak mengalami fertilisasi dan tidak mengandung ruh hayati.
●PENCIPTAAN HAWA: NARASI TEOLOGIS YANG MENGANDUNG KODE BIOLOGIS: Al-Qur’an menyebutkan, “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan pasangannya.” (QS. An-Nisā’ [4]: 1)
Ayat ini menegaskan bahwa Hawa diciptakan dari sebagian diri Adam, bukan dari proses pembuahan antara dua individu. Secara biologis, hal ini dapat dibaca sebagai bentuk transformasi seluler dari tubuh Adam sendiri, bukan hasil fertilisasi antara sperma dan ovum.
Dalam bahasa bioteknologi kontemporer, konsep ini menyerupai reprogramming sel tubuh (somatik) menjadi bentuk baru yang bersifat totipotent — sel yang mampu berkembang menjadi makhluk hidup lengkap.
Dengan demikian, penciptaan Hawa dapat dipandang sebagai fenomena partenogenesis ilahiah, di mana sumber genetik berasal dari satu tubuh, tetapi dimodifikasi oleh kehendak Tuhan.
● PERBEDAAN ESENSIAL: RUH SEBAGAI UNSUR METAFISIK (GHAIB): Meskipun terdapat kemiripan struktural antara blastoid dan embrio sejati, perbedaan hakiki terletak pada kehadiran ruh (روح).
Dalam narasi Adam dan Hawa, Allah berfirman, “Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ke dalamnya ruh-Nya.” (QS. As-Sajdah [32]: 9)
Sementara itu, dalam eksperimen bioteknologi, hasilnya hanyalah struktur biologis tanpa ruh — tidak memiliki kesadaran, potensi spiritual, ataupun eksistensi hakiki.
Dengan demikian, manusia dapat meniru mekanisme, tetapi tidak pernah meniru proses eksistensial dari Kun fayakūn (كُنْ فَيَكُونُ).
● PERSPEKTIF FILSAFAT DAN BIOETIKA: Fenomena ini menimbulkan perenungan baru dalam filsafat penciptaan:
Manusia mulai memahami “cara” biologis penciptaan, tetapi tidak menguasai hakikat penciptaan itu sendiri.
Dalam istilah Al-Ghazali, ada perbedaan antara fi‘l Allah (perbuatan Tuhan yang mencipta) dan san‘ al-insān (karya manusia yang meniru ciptaan).
Bioteknologi semacam blastoid membuka peluang besar bagi ilmu kedokteran reproduksi, tetapi sekaligus menuntut kehati-hatian etis agar manusia tidak terjebak pada ilusi “menjadi pencipta”.
● INTEGRASI EPISTEMIK: DARI WAHYU KE LABORATORIUM: Jika dibaca secara interdisipliner, narasi penciptaan Hawa tidak menolak sains, tetapi justru menawarkan model epistemik lintas domain:
Dari sisi wahyu, penciptaan Hawa menunjukkan bahwa asal kehidupan tidak selalu melalui fertilisasi, melainkan dapat melalui transformasi ilahi.
Dari sisi sains, penelitian blastoid membuktikan bahwa potensi penciptaan dari sel tunggal bukanlah hal mustahil secara biologis.
Maka, dapat ditarik benang merah bahwa Al-Qur’an memuat isyarat ilmiah yang kini baru mulai terbaca oleh bioteknologi modern — tentu dalam batas fisikal yang tetap tunduk pada kehendak Ilahi.
● Paralel Teologis=> Dari Hawa hingga ‘Isa a.s. : Fenomena penciptaan tanpa fertilisasi konvensional bukan hanya menjadi objek penelitian bioteknologi modern, tetapi juga telah diisyaratkan dalam teks-teks teologis Islam melalui kisah penciptaan Hawa dari diri Adam dan kelahiran ‘Isa a.s. dari rahim Maryam tanpa ayah biologis. Keduanya menunjukkan pola penciptaan yang melampaui mekanisme genetik biasa, namun tetap tunduk pada sunnatullah dalam bentuk yang lebih tinggi—yakni hukum ciptaan yang bergerak dalam dimensi non-materi.
Dalam kisah Hawa, Al-Qur’an menyebut bahwa ia diciptakan dari “diri yang satu” (QS. An-Nisā’ [4]:1), yang dalam konteks ilmiah dapat diinterpretasi sebagai asal-usul biologis dari satu entitas seluler — suatu proses yang secara analogis menyerupai rekayasa somatik atau kloning modern, di mana satu sel mampu membentuk individu baru. Sedangkan dalam kelahiran ‘Isa a.s., yang disebut sebagai “Kalimat dari-Nya yang disampaikan kepada Maryam dan (diciptakan) dari ruh-Nya” (QS. An-Nisā’ [4]:171), pola yang muncul lebih menyerupai parthenogenesis, yaitu aktivasi sel ovum tanpa pembuahan sperma.
Dalam konteks bioteknologi, parthenogenesis alamiah telah diamati pada beberapa spesies reptil dan serangga, sementara secara eksperimental dapat diinduksi pada mamalia melalui manipulasi genetik dan kimiawi. Namun, pada manusia, mekanisme ini belum pernah terjadi secara alami. Mukjizat kelahiran ‘Isa a.s. menunjukkan dimensi yang tak dapat dijelaskan oleh hukum biologis biasa—karena proses aktivasi ovum terjadi melalui perintah eksistensial ilahi (kun fayakūn), bukan stimulus biokimiawi. Dengan demikian, “ke-tanpa ayah-an” ‘Isa a.s. bukanlah anomali biologis, melainkan transendensi hukum genetika oleh energi kreatif ruhani.
Ketiga model — Hawa, ‘Isa, dan blastoid hasil rekayasa ilmuwan Hubrecht Institute — menyingkap pola universal penciptaan yang tidak tunggal secara mekanistik. Bahwa kehidupan dapat muncul melalui berbagai jalur ontologis: dari tanah (abiotik), dari diri yang sama (somatik), dari ovum tanpa sperma (parthenogenik), atau dari rekayasa sel punca (bioteknogenik). Pola ini memperlihatkan kesinambungan antara wahyu dan laboratorium — bahwa “ruh kehidupan” senantiasa menjadi inti dari setiap proses penciptaan, baik yang mukjizat maupun yang eksperimental.
●KESIMPULAN: Kemajuan bioteknologi, khususnya penelitian tentang blastoid dan sel punca pluripoten terinduksi (iPSC), mengungkap bahwa sel tubuh dapat direkayasa menjadi struktur mirip embrio tanpa keterlibatan sperma maupun ovum. Fakta ini tidak sekadar memperluas pemahaman ilmiah tentang reproduksi, tetapi juga membuka horizon teologis baru: bahwa proses penciptaan makhluk hidup tidak terbatas pada pola fertilisasi klasik.
Dalam konteks keislaman, kemajuan bioteknologi modern yang memungkinkan terbentuknya model embrionik tanpa sperma maupun ovum menemukan paralelnya dalam dua peristiwa penciptaan luar biasa yang disebut dalam Al-Qur’an. Pertama, penciptaan Hawa dari diri Adam, yang secara konseptual dapat dipahami sebagai bentuk rekayasa somatik ilahiah—yakni proses penciptaan kehidupan baru dari sel tubuh (non-gamet) melalui kehendak Allah, tanpa mekanisme fertilisasi alami. Fenomena ini memiliki kemiripan prinsip dengan pendekatan ilmiah modern seperti somatic cell nuclear transfer (SCNT), meskipun dalam konteks teologis tetap berada di luar ranah kemampuan manusia.
Kedua, penciptaan ‘Isa a.s. tanpa ayah biologis, yang secara biologis dapat dianalogikan sebagai bentuk partenogenesis ilahiah, yaitu perkembangan embrio dari ovum yang tidak dibuahi sperma. Dalam hal ini, sel telur Maryam berperan sebagai medium biologis yang diaktifkan langsung oleh kehendak Allah, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: “Apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ Maka jadilah ia” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 47).
Kedua model tersebut—rekayasa somatik pada penciptaan Hawa dan partenogenesis pada penciptaan ‘Isa a.s.—mewakili dua manifestasi berbeda dari transmutasi kehidupan tanpa pembuahan alami, yang menunjukkan bahwa kehidupan tidak semata tunduk pada hukum biologis, melainkan juga pada tatanan metafisis dan kehendak Ilahi yang mengatur eksistensi di balik mekanisme seluler.
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب
