Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
Pendahuluan
INDRAMAYU — Dalam pandangan umum, otak kerap dianggap sebagai pusat sekaligus sumber seluruh kesadaran manusia. Sejak era Descartes hingga neurosains modern, manusia berusaha memahami bagaimana impuls listrik di jaringan saraf dapat menghasilkan pikiran, emosi, dan pengalaman subjektif. Namun, semakin maju penelitian tentang otak, semakin jelas pula bahwa aktivitas neural bukanlah kesadaran itu sendiri, melainkan hanya infrastruktur biologis tempat kesadaran beroperasi.
Penelitian fase tidur dan mimpi, sebagaimana ditunjukkan oleh Harvard Medical School dan NINDS, memperlihatkan bahwa otak tetap aktif bahkan ketika tubuh beristirahat total. Fakta ini membuktikan bahwa kesadaran tidak lenyap saat tidur, melainkan berpindah dari kesadaran eksternal (sensorik) ke kesadaran internal (imajinatif). Fenomena tersebut membuka peluang untuk meninjau kembali hakikat kesadaran: apakah ia benar-benar lahir dari otak, atau otak hanyalah wadah bagi entitas kesadaran yang lebih dalam?
Otak dan Kesadaran dalam Perspektif Neurosains
Dalam neurosains klasik, kesadaran dipandang sebagai hasil interaksi kompleks antarjaringan neuron. Teori Neural Correlates of Consciousness (NCC) berupaya mengidentifikasi wilayah otak yang aktif ketika seseorang sadar atau bermimpi. Fase Rapid Eye Movement (REM), misalnya, menunjukkan peningkatan aktivitas di korteks visual dan sistem limbik, sedangkan korteks prefrontal menurun aktivitasnya.
Namun, para ilmuwan menyadari keterbatasan penjelasan ini. Gelombang listrik otak (EEG) memang menggambarkan korelasi aktivitas neural dengan pengalaman sadar, tetapi tidak menjelaskan mengapa sensasi subjektif atau makna tertentu bisa muncul. Hubungan sebab-akibat antara neuron dan kesadaran tetap belum terbukti secara ontologis.
David Chalmers (1995) menamakan dilema ini the hard problem of consciousness — bagaimana proses fisik di otak dapat menimbulkan pengalaman subjektif (qualia). Sementara Francis Crick dan Christof Koch menekankan bahwa kesadaran hanyalah hasil kerja kompleks dari 86 miliar neuron, sebagian besar ilmuwan kini mengakui bahwa korelasi itu tidak cukup menjelaskan eksperiensialitas manusia.
Dengan kata lain, aktivitas neural adalah syarat yang perlu (necessary), tetapi tidak cukup (not sufficient) bagi kesadaran. Otak bekerja sebagai jembatan material, bukan sebagai asal eksistensial.
Tidur dan Transisi Kesadaran
Fenomena tidur memperkuat pandangan bahwa kesadaran memiliki lapisan berbeda. Dalam tidur dalam (non-REM), otak menurunkan aktivitas metaboliknya untuk memulihkan energi; namun pada fase REM, justru terjadi lonjakan listrik menyerupai keadaan sadar. Di sinilah mimpi terbentuk.
Bagi Robert Stickgold (Harvard Medical School), mimpi adalah bentuk lain dari proses pembelajaran dan konsolidasi memori. Saat kita “tidak sadar”, otak menata ulang informasi, memperkuat koneksi sinaptik, dan membersihkan racun melalui sistem glifatik. Artinya, kesadaran tetap aktif dalam bentuk laten—menunjukkan bahwa kesadaran tidak bergantung sepenuhnya pada interaksi sensorik, tetapi beroperasi dalam ranah simbolik dan internal.
Secara psikologis, mimpi adalah lanjutan kesadaran dalam mode non-sensorik. Dalam kerangka filsafat pikiran, hal ini menunjukkan bahwa kesadaran memiliki modus eksistensi non-empirik, yakni tetap bekerja walau input fisik terputus. Maka, aktivitas neural hanyalah medan manifestasi, bukan penyebab utama.
Perspektif Filsafat Pikiran: Dual-Aspect Monism
Beberapa pemikir modern mencoba menengahi perdebatan klasik antara materialisme (kesadaran sebagai produk otak) dan dualisme (kesadaran sebagai entitas non-fisik). Pendekatan Dual-Aspect Monism—diusung oleh Spinoza dan diperkuat oleh Karl Popper serta Max Velmans—menyatakan bahwa realitas memiliki dua aspek: mental dan fisik. Otak dan kesadaran adalah dua wajah dari satu entitas ontologis yang sama.
Dengan demikian, otak berfungsi sebagai “infrastruktur fisik”, sedangkan kesadaran adalah “aspek fenomenologis” dari eksistensi tersebut. Hubungan keduanya bersifat korespondensial, bukan kausal satu arah.
Model ini sejalan dengan prinsip dalam filsafat Islam bahwa tubuh adalah “alat jasmani”, sedangkan ruh atau qalb adalah “substansi penggerak”. Dalam Al-Qur’an, relasi ini tampak jelas pada ayat:
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya.”
(QS Az-Zumar [39]: 42)
Ayat ini menegaskan bahwa tidur merupakan keadaan di mana sebagian jiwa ditahan, sementara aktivitas biologis tetap berjalan. Artinya, kesadaran manusia memiliki lapisan yang tidak identik dengan otak. Otak hanya wadah kerja ruhani dalam dunia fisik.
Dimensi Ruhani: Perspektif Islam Klasik dan Modern
Para mufasir klasik seperti Al-Rāzī dan Ibn Kathīr menafsirkan ayat di atas sebagai isyarat bahwa tidur adalah kematian kecil (al-mawtah al-ṣughrā). Jiwa tidak sepenuhnya keluar, tetapi berada pada keadaan antara sadar dan mati. Jika Allah menghendaki, jiwa itu dikembalikan (bangun); jika tidak, ia tetap tertahan (mati).
Dalam tafsir modern, Sayyid Qutb dalam Fī Ẓilāl al-Qur’ān menjelaskan bahwa kesadaran manusia bersumber dari “nafas Ilahi” (nafakhtu fīhi min rūḥī, QS Al-Hijr:29). Oleh karena itu, unsur kesadaran tidak mungkin dijelaskan sepenuhnya melalui mekanisme neural. Otak hanyalah perantara bagi dimensi ruhani untuk berinteraksi dengan dunia material.
Pendapat ini memiliki resonansi menarik dengan teori medan kesadaran (consciousness field theory) yang dikemukakan oleh Roger Penrose dan Stuart Hameroff melalui model Orchestrated Objective Reduction (Orch-OR). Mereka berpendapat bahwa kesadaran muncul dari fenomena kuantum di dalam mikrotubula neuron—sebuah wilayah yang melampaui mekanika klasik. Dengan kata lain, ada substrat non-lokal yang menjadi dasar pengalaman sadar, sejalan dengan konsep ruh yang transenden.
Otak sebagai Infrastruktur: Analogi dan Implikasi
Jika kesadaran diibaratkan “pengguna”, maka otak adalah “komputer biologis” yang menampung proses informasi. Namun seperti komputer, perangkat keras (hardware) tidak akan berfungsi tanpa perangkat lunak (software) dan energi yang menggerakkannya.
Neurosains dapat memetakan lokasi fungsi—misalnya, area Broca untuk bahasa, hippocampus untuk memori—tetapi tidak dapat menjelaskan mengapa seseorang dapat memahami makna, berempati, atau bermimpi tentang masa depan. Semua ini memerlukan dimensi interpretatif yang melampaui sirkuit neural.
Dalam konteks ini, otak adalah infrastruktur, bukan arsitek kesadaran.
Ia menyediakan mekanisme elektrokimiawi agar kesadaran dapat mengekspresikan diri di dunia fisik, tetapi sumbernya berada pada realitas non-materi yang disebut rūḥ atau self-awareness field.
Sintesis Interdisipliner
Dimensi | Aspek Fisik | Aspek Mental | Aspek Ruhani
▪︎ Dimensi Struktur
- Aspek Fisik: Otak dan sistem saraf
- Aspek Mental: Pikiran dan persepsi
- Aspek Ruhani: Ruh / jiwa
▪︎ Dimensi Fungsi
- Aspek Fisik: Proses sinaptik dan listrik
- Aspek Mental: Pengolahan makna dan pengalaman •Aspek Ruhani: Kesadaran transendental
▪︎ Dimensi Keterkaitan •Aspek Fisik: Korelasi biologis •Aspek Mental: Interpretasi psikologis
•Aspek Ruhani: Sumber ontologis
▪︎ Dimensi Status
- Aspek Fisik: Infrastruktur •Aspek Mental: Manifestasi •Aspek Ruhani: Esensi
Kesimpulan
Penelitian tidur dan aktivitas otak menunjukkan bahwa otak manusia tetap bekerja aktif bahkan saat tubuh beristirahat. Akan tetapi, lonjakan aktivitas neural bukanlah bukti bahwa kesadaran berasal dari otak. Sebaliknya, fenomena tersebut justru memperlihatkan bahwa kesadaran mampu beroperasi melalui otak dalam berbagai tingkat—dari sadar eksternal hingga internal.
Dalam kerangka interdisipliner, kesadaran dapat dipahami sebagai realitas bertingkat:
1.Neuralitas → infrastruktur fisik,
2.Psikologis → representasi simbolik,
3.Ruhani → sumber eksistensial.
Otak hanyalah wadah kerja, bukan pencipta kesadaran. Ia adalah alat bagi entitas ruhani untuk mengekspresikan diri dalam dunia materi, sebagaimana lampu pijar memancarkan cahaya bukan karena kawatnya, melainkan karena energi listrik yang mengalir di dalamnya.
Maka benar ungkapan para filosof Islam:
العقلُ ناظرٌ بالقلبِ، والقلبُ ناظرٌ بالروحِ، والروحُ ناظرٌ بنورِ اللهِ.
“Al-‘aqlu nāẓirun bil-qalb, wal-qalbu nāẓirun bir-rūḥ, war-rūḥu nāẓirun bi-nūrillāh.”
(Akal melihat dengan hati, hati melihat dengan ruh, dan ruh melihat dengan cahaya Allah.)
Kesadaran sejati bukanlah produk neuron, tetapi pancaran dari sumber yang melampaui ruang otak—pancaran yang membuat manusia mengetahui bahwa ia tahu.
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب
