***Studi Komparatif antara Fikih, Hadis, dan Mikrobiologi***
Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
Abstrak
INDRAMAYU — Kajian ini menguraikan perbandingan pandangan empat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali) mengenai najisnya anjing, terutama air liurnya, dengan menelaah relevansinya terhadap temuan mikrobiologi kontemporer. Penelitian berbasis studi pustaka ini menemukan bahwa perbedaan mazhab muncul dari variasi dalam penafsiran hadis dan metode istinbath hukum. Temuan ilmiah menunjukkan bahwa air liur anjing mengandung sejumlah mikroorganisme patogen, sementara tanah memiliki senyawa dan mikroba penghasil antibiotik alami. Dengan demikian, perintah pencucian bejana dengan tanah dalam hadis dapat dimaknai bukan hanya secara ritual (ta‘abbudi), melainkan juga esensial (ta‘lili), yakni sebagai langkah preventif kesehatan. Artikel ini menegaskan pentingnya pendekatan interdisipliner dalam memahami hukum fikih berbasis hikmah ilmiah.
Kata kunci: fikih, najis, anjing, mikrobiologi, hadis, interdisipliner
Pendahuluan
Diskursus tentang kenajisan anjing telah menjadi pembahasan klasik dalam khazanah fikih Islam. Hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menyebutkan:
“Apabila anjing menjilat bejana salah seorang di antara kalian, hendaklah ia mencucinya tujuh kali, salah satunya dengan tanah.” (HR. Muslim)
Hadis tersebut menjadi dasar hukum utama bagi empat mazhab dalam menetapkan status najis anjing. Namun, perkembangan ilmu biologi modern, khususnya mikrobiologi, menimbulkan pertanyaan baru: apakah ketentuan itu bersifat ta‘abbudi murni (ritual yang tidak perlu dicari rasionalitasnya) atau mengandung hikmah empiris yang dapat dijelaskan secara ilmiah?
Kajian ini bertujuan untuk:
1.Menyajikan pandangan empat mazhab tentang najis anjing.
2.Mengkaji temuan ilmiah terkait mikroba dalam air liur anjing dan efektivitas tanah sebagai agen sterilisasi alami.
3.Menawarkan pembacaan hermeneutik yang mengintegrasikan rasionalitas ilmiah ke dalam pemahaman hukum fikih.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif melalui studi pustaka interdisipliner. Sumber data primer meliputi kitab-kitab fikih klasik dari empat mazhab dan hadis-hadis sahih (terutama riwayat Imam Muslim dan Bukhari). Data sekunder diperoleh dari jurnal-jurnal mikrobiologi, veterinari, dan bioetika Islam modern. Analisis dilakukan secara komparatif dan hermeneutik, dengan menelusuri makna hukum dari aspek teks (nash) dan konteks (hikmah empiris).
Hasil dan Pembahasan
1.Pandangan Empat Mazhab tentang Najis Anjing
▪︎ Mazhab Hanafi
- Status Tubuh Anjing: Tidak seluruh tubuh dianggap najis.
•Status Air Liur: Air liur dan kotoran najis
•Dasar Dalil dan Penalaran: Berdasarkan hadits, bejana dengan penekanan pada substansi najis bukan seluruh tubuh.
▪︎ Madzhab Maliki
•Status Tubuh Anjing: Tubuh anjing suci; najis hanya bila terbukti menularkan.
•Status Air Liur: Najis bersyarat (bila kontak basah).
•Dasar Dalil dan Penalaran: Imam Malik menafsirkan hadis bersifat ta‘abbudi namun konteksnya higienis.
▪︎ Madzhab Syafi‘i
•Status Tubuh Anjing: Seluruh tubuh anjing najis (najāsah ‘ainiyyah).
•Status Air Liur: Air liur najis berat (mughallazhah).
•Dasar Dalil dan Penalaran: Imam al-Syafi‘i dalam al-Umm menegaskan kewajiban basuhan tujuh kali, sekali dengan tanah.
▪︎ Madzhab Hanbali
•Status Tubuh Anjing: Seluruh tubuh najis, terutama air liur.
•Status Air Liur: Najis berat.
•Dasar Dalil dan Penalaran: Imam Ahmad bin Hanbal menegaskan hukum sama dengan Syafi‘i; Ibn Taymiyyah menilai tanah mengandung makna pembersihan alami.
Perbedaan muncul dari metode istinbath: Syafi‘i dan Hanbali menekankan tekstualitas hadis, sedangkan Hanafi dan Maliki lebih mempertimbangkan rasionalitas konteks.
2.Temuan Mikrobiologi tentang Air Liur Anjing
Penelitian modern mengidentifikasi bahwa air liur anjing mengandung berbagai mikroorganisme patogen potensial, di antaranya:
Capnocytophaga canimorsus — dapat menyebabkan infeksi berat pada manusia dengan imunitas rendah.
Pasteurella multocida, Campylobacter jejuni, dan Salmonella spp. — penyebab zoonosis dan infeksi luka.
Staphylococcus aureus dan Bacteroides spp. — flora normal yang dapat menjadi patogen oportunistik.
Sementara itu, sistem imun anjing yang adaptif memungkinkan hewan tersebut toleran terhadap mikroba lingkungannya, sehingga tidak menunjukkan gejala meski terpapar patogen.
3.Tanah sebagai Agen Antimikroba Alami
Penelitian dalam mikrobiologi lingkungan menunjukkan bahwa tanah kaya akan mikroorganisme penghasil antibiotik, terutama dari genus Streptomyces dan Bacillus. Kedua genus ini memproduksi senyawa seperti streptomisin, tetracycline, dan bacitracin yang efektif melawan bakteri Gram positif dan Gram negatif.
Selain itu, partikel mineral tanah seperti silika dan kaolin memiliki kemampuan adsorptif untuk mengikat dan menghilangkan partikel mikroba.
Hal ini memberi dasar ilmiah bagi perintah hadis tentang penggunaan tanah sebagai media pembersih: tanah bukan sekadar simbol kesucian, melainkan memiliki fungsi sterilisasi empiris.
4.Analisis Hermeneutik dan Implikasi Hukum
Dari perspektif hermeneutik, perintah Nabi ﷺ untuk mencuci bejana dengan tanah dapat ditafsirkan melalui dua pendekatan:
Pendekatan ta‘abbudi: dilaksanakan sebagai ibadah tanpa mencari alasan rasional, karena bersumber dari wahyu.
Pendekatan ta‘lili: memahami adanya hikmah di balik perintah tersebut, seperti prinsip thaharah (kebersihan) dan pencegahan penyakit.
Dengan bukti ilmiah kontemporer, pendekatan kedua menjadi relevan untuk memperkuat rasionalitas hukum fikih tanpa mengurangi nilai ibadahnya. Dalam konteks modern, media pembersih seperti sabun antiseptik atau cairan berbasis tanah liat dapat digunakan sebagai qiyas fungsional apabila terbukti memiliki daya sterilisasi yang setara.
Kesimpulan
Kajian ini menunjukkan bahwa:
1.Perbedaan pandangan empat mazhab tentang najis anjing berakar pada metode istinbath hukum dan kadar pemaknaan hadis.
2.Ilmu mikrobiologi modern membuktikan adanya dasar ilmiah bagi perintah pencucian bejana dengan tanah, karena tanah memiliki sifat antimikroba alami.
3.Pemahaman interdisipliner yang menggabungkan fikih dan sains membuka ruang reinterpretasi hukum Islam secara kontekstual dan rasional, tanpa menafikan nilai ta‘abbudi dalam nash.
Dengan demikian, praktik kebersihan dalam Islam terbukti tidak hanya bersifat ritual, tetapi juga memiliki hikmah preventif dalam bidang kesehatan masyarakat.
Daftar Pustaka
Al-Syafi‘i, Muhammad bin Idris. Al-Umm. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2001.
Al-Marghinani, Burhanuddin. Al-Hidayah fi Syarh Bidayat al-Mubtadi. Kairo: Dar al-Hadith, 1998.
Ahmad bin Hanbal. Masā’il al-Imām Ahmad. Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1997.
Al-Qurtubi, Abu ‘Abdillah. Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006.
Bukhari, Muhammad ibn Ismail. Sahih al-Bukhari. Kitab al-Taharah.
Muslim, Imam. Sahih Muslim. Kitab al-Thaharah.
Chopra, I., & Roberts, M. “Tetracycline Antibiotics: Origins from Soil Microbes.” Microbiology and Molecular Biology Reviews 65, no. 2 (2001): 232–260.
Foster, L., & Jones, M. “Microbiota of the Canine Mouth: Implications for Zoonotic Disease.” Veterinary Microbiology 254 (2021): 108957.
Oxford, John. “Pathogens in Dog Saliva and Zoonotic Risk.” Queen Mary University Report (2018).
Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
World Health Organization (WHO). Zoonotic Bacterial Pathogens in Companion Animals. Geneva: WHO Press, 2019.
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب
