
Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
Pendahuluan
I DRAMAYU — Al-Qur’an kerap mengajak manusia merenungi fenomena biologis sederhana untuk menyingkap kebesaran Sang Pencipta. Salah satu ayat yang menarik untuk dikaji secara ilmiah ialah firman Allah dalam QS Al-Hajj [22]: 73:
“Hai manusia, telah dibuat suatu perumpamaan, maka dengarkanlah perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak dapat merebutnya kembali darinya. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah pula yang disembah itu.”
Ayat ini memuat dimensi biologis, epistemologis, dan teologis yang sangat dalam. Lalat — makhluk yang kerap dianggap menjijikkan — dijadikan Allah sebagai simbol keterbatasan makhluk dan keagungan penciptaan. Di balik ukurannya yang kecil, ternyata tersimpan struktur biologis kompleks yang bahkan sains modern belum mampu menirunya secara utuh.
1.Kompleksitas Biologis Seekor Lalat
Dalam pandangan sains modern, lalat (ordo Diptera) merupakan organisme yang luar biasa efisien. Salah satu bagian paling menakjubkan dari anatominya adalah mata majemuk (compound eyes), yang terdiri dari ribuan unit penglihatan mini bernama ommatidium.
Setiap ommatidium bekerja seperti kamera mikro yang menangkap cahaya dari arah berbeda. Otak lalat menggabungkan semua informasi visual tersebut menjadi satu citra utuh dalam waktu sangat cepat — jauh melampaui kecepatan persepsi manusia. Karena itu, lalat mampu menghindari serangan atau tepukan manusia dalam sepersekian detik.
Secara fisiologis, sistem saraf lalat memiliki waktu respon hanya sekitar 5 milidetik, sedangkan manusia membutuhkan 250 milidetik untuk merespons stimulus visual. Fakta ini memperlihatkan betapa efisiennya rancangan sistem pengindraan makhluk kecil ini — sebuah keajaiban mikro yang mencerminkan kebijaksanaan desain ilahi (divine design).
Selainitu, para peneliti (misalnya, studi dalam Nature Communications, 2017) menemukan bahwa sistem visual lalat memiliki kecepatan pemrosesan hingga 250 gambar per detik, jauh di atas kemampuan manusia (60 gambar per detik).
Ini menjelaskan kemampuan lalat menghindar dari serangan dengan refleks luar biasa cepat — sesuatu yang di dunia robotika disebut vision-based reflex system, dan hingga kini masih berusaha ditiru melalui sistem AI visual berbasis ommatidium.
Dengan kata lain, mata lalat bukan sekadar alat penglihatan, tetapi algoritma biologis yang efisien, presisi, dan menginspirasi teknologi kecerdasan buatan.
2. Tafsir Klasik dan Rasionalitas Ilahi
Dalam Tafsir al-Ṭabarī, ayat ini dijelaskan sebagai bentuk penghinaan terhadap ketidakberdayaan berhala-berhala yang disembah manusia. Jika makhluk hidup sekecil lalat saja tak mampu mereka ciptakan, bagaimana mungkin mereka menuhankan benda mati?
Al-Qurṭubī menambahkan bahwa bahkan jika seluruh manusia dan jin bersatu, mereka tetap tidak akan sanggup meniru satu sel pun dari lalat yang hidup. Ini menunjukkan bahwa kehidupan mengandung rahasia metafisis yang tak dapat direduksi menjadi sekadar reaksi kimia atau mekanisme biologis.
Pendekatan tafsir modern memperluas makna ini. Menurut Fazlur Rahman, ayat-ayat semacam ini bukan hanya sindiran teologis, tetapi juga seruan epistemologis — ajakan untuk berpikir tentang struktur ciptaan sebagai jalan mengenal Pencipta. Dengan demikian, refleksi atas lalat bukan sekadar keheranan biologis, melainkan latihan spiritual untuk menyingkap tanda-tanda Tuhan dalam “dunia kecil”.
3. Perspektif Sains Modern: Lalat sebagai “Desain Optimal”
Kajian ilmiah menunjukkan bahwa desain tubuh lalat mencerminkan prinsip bioengineering yang sangat efisien:
Sayap lalat mampu bergetar hingga 500 kali per detik, menciptakan kemampuan manuver luar biasa.
Sistem respirasi trakeal memungkinkan pertukaran oksigen langsung ke jaringan tanpa darah, sehingga metabolisme berlangsung cepat.
Lalat betina memiliki sistem reproduksi yang kompleks, mampu menghasilkan ratusan telur dalam waktu singkat.
Bahkan dalam bidang robotika, struktur mata lalat menjadi inspirasi bagi pembuatan sensor optik multi-lensa yang digunakan dalam drone mini dan kamera deteksi gerak. Artinya, inspirasi penciptaan ilahi telah menuntun inovasi teknologi manusia.
4. Perspektif Teologis: Keagungan dalam Keterbatasan
Ayat ini menegaskan konsep tauhid rubūbiyyah: bahwa hanya Allah yang mampu menciptakan kehidupan sejati dari ketiadaan. Dalam tafsir kontemporer al-Mishbah, Quraish Shihab menekankan bahwa “perumpamaan lalat” menunjukkan kontradiksi antara kebesaran Tuhan dan ketakmampuan manusia — bahkan pada tingkat biologi paling sederhana.
Fenomena lalat juga mengandung nilai etis dan spiritual. Manusia seringkali menganggap remeh ciptaan kecil, padahal di dalamnya tersimpan sistem kehidupan yang luar biasa. Kesadaran ini melatih tawadhu‘ ilmiah — kerendahan hati di hadapan kompleksitas ciptaan Allah.
5. Refleksi: Dari Lalat ke Kesadaran Ilmiah dan Spiritual
Kajian tentang lalat mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan tidak pernah bertentangan dengan wahyu, selama keduanya dilihat sebagai jalan untuk mengenal realitas ciptaan Tuhan. Sains menyingkap bagaimana sesuatu bekerja; wahyu menyingkap mengapa sesuatu diciptakan.
Dalam konteks modern, ayat ini juga mengajak kita merefleksikan batas eksperimen bioteknologi dan kecerdasan buatan (AI). Meskipun manusia mampu menciptakan robot, sel hidup tetap menyimpan misteri kehidupan yang tidak dapat direplikasi sepenuhnya. Nyawa bukan sekadar hasil interaksi atom, tetapi manifestasi kehendak ilahi yang tak dapat diintervensi manusia.
Penutup
Seekor lalat adalah mikrokosmos kebesaran Tuhan. Di balik tubuh kecilnya, terdapat harmoni sistem biologis, kecerdikan struktur, dan kesempurnaan fungsi. Ayat QS Al-Hajj [22]: 73 bukan sekadar kritik terhadap penyembahan berhala, tetapi juga undangan untuk merenungi kesempurnaan desain alam sebagai tanda-tanda Tuhan (āyāt Allāh).
Seperti dikatakan oleh Al-Qur’an:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar.”
(QS Fuṣṣilat [41]: 53)
Dan di antara tanda itu — mungkin, hanya seekor lalat kecil yang melintas di depan mata.
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب