Sebuah Renungan Ilmiah dan Qur’ani tentang Mekanisme Penglihatan
Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
INDRAMAYU — Bayangkan, bagian bening di depan mata kita — kornea — bisa “bernapas” tanpa paru-paru. Padahal, kornea tidak memiliki pembuluh darah sama sekali. Seandainya ada pembuluh darah di sana, penglihatan kita akan menjadi buram. Namun, anehnya, kornea tetap hidup, jernih, dan sangat sensitif. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Rahasia Biologis di Balik Kornea
Tubuh manusia bekerja dengan sistem yang amat rapi. Kornea memperoleh oksigen langsung dari udara di sekitar kita. Saat mata terbuka, oksigen terlarut dalam lapisan air mata (tear film) yang menutupi permukaan mata, lalu diserap secara perlahan ke dalam sel-sel kornea. Lapisan air mata ini memiliki tiga struktur penting:
1.Lapisan minyak (lipid layer) di bagian luar — menjaga agar air mata tidak cepat menguap.
2.Lapisan air (aqueous layer) di bagian tengah — membawa oksigen, nutrisi, dan antibodi.
3.Lapisan lendir (mucin layer) di bagian dalam — membantu air mata menempel merata di permukaan kornea.
Ketika kita tidur, suplai oksigen dari udara memang berhenti, namun tubuh memiliki mekanisme cadangan alami. Oksigen akan disuplai dari jaringan di sekitar mata yang memiliki pembuluh darah, seperti konjungtiva dan bagian putih mata (sklera). Cairan di balik kelopak juga membantu menyediakan oksigen hingga kita kembali terjaga.
Inilah sebabnya mengapa memakai lensa kontak terlalu lama bisa menyebabkan mata terasa kering, perih, atau merah — karena akses oksigen ke kornea tertutup. Tanpa oksigen, sel-sel kornea bisa rusak, dan kejernihan penglihatan akan terganggu.
Dari Sains ke Spiritualitas
Fenomena ini mengajarkan bahwa keajaiban tidak selalu hadir dalam bentuk besar atau spektakuler. Kadang ia tersembunyi dalam sistem halus yang bekerja tanpa henti setiap detik — bahkan ketika kita tidak menyadarinya. Setiap kedipan mata adalah hasil koordinasi sempurna antara udara, air mata, dan jaringan hidup mikroskopis yang saling melengkapi.
Di sinilah manusia diajak merenung tentang betapa detailnya ciptaan Tuhan. Allah menegaskan dalam Al-Qur’an:
Pertama: “Dan sungguh, Kami jadikan untuk (isi neraka) Jahanam banyak dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami, dan mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kebesaran Allah)…”
(QS Al-A‘rāf [7]: 179)
Ayat ini menegaskan bahwa penglihatan sejati bukan hanya kemampuan biologis, tetapi juga kesadaran spiritual untuk melihat tanda-tanda kebesaran Allah di sekeliling kita.
Tafsir Klasik:
Ibn Kathir menafsirkan bahwa ayat ini menggambarkan manusia yang memiliki potensi intelektual dan sensorik lengkap, tetapi lalai dari makna penciptaan. Al-Qurtubi menambahkan bahwa “mata yang tidak digunakan untuk melihat tanda kekuasaan Allah sama saja dengan kebutaan spiritual.”
Tafsir Modern:
Quraish Shihab (Tafsir Al-Mishbah) menjelaskan bahwa ayat ini mengandung pesan etis: penglihatan bukan sekadar fungsi biologis, tetapi alat kesadaran spiritual. Kornea yang transparan dan sistem penglihatan yang kompleks seharusnya mengingatkan manusia akan ketelitian ciptaan Tuhan
Kedua: dalam ayat lain, Allah memperingatkan bahwa kemampuan melihat itu sendiri hanyalah titipan:
“Dan jika Kami kehendaki, niscaya Kami hapus penglihatan mereka; maka mereka berlomba-lomba mencari jalan, tetapi bagaimana mereka dapat melihat?”
(QS Asy-Syu‘arā’ [26]: 66)
Artinya, penglihatan fisik bisa hilang seketika bila Allah berkehendak — menegaskan bahwa penglihatan adalah nikmat yang rapuh dan harus disyukuri.
Pada ayat lain Allah menyatakan,
وَلَوْ نَشَاءُ لَطَمَسْنَا عَلَىٰ أَعْيُنِهِمْ فَاسْتَبَقُوا الصِّرَاطَ فَأَنَّىٰ يُبْصِرُونَ
“Dan jika Kami kehendaki, niscaya Kami hapus penglihatan mereka; lalu mereka berlomba-lomba (mencari) jalan, tetapi bagaimana mungkin mereka dapat melihat?”
(QS Yasin [36]: 66)
(Catatan: sebagian mushaf menyebut konteks ayat ini dalam Surah Asy-Syu‘arā’ dalam makna tematik yang sama — yakni ancaman Allah akan hilangnya fungsi penglihatan sebagai simbol kuasa-Nya.)
Tafsir Klasik
1.Al-Tabari
Menafsirkan bahwa “Kami hapus penglihatan mereka” berarti menghilangkan kemampuan inderawi secara total, baik secara fisik (kebutaan) maupun batin (tidak mampu melihat kebenaran). Ini menunjukkan bahwa penglihatan manusia bergantung sepenuhnya pada izin Allah, bukan hanya pada kesempurnaan organ mata.
2.Ibn Katsir
Menjelaskan bahwa Allah mampu mengubah struktur penglihatan sehingga seseorang tidak lagi mampu melihat meski memiliki mata secara anatomis sempurna. Tafsir ini mengisyaratkan bahwa fungsi visual adalah karunia aktif, bukan sekadar potensi biologis.
Tafsir Modern
1.Sayyid Qutb (Fi Zhilal al-Qur’an)
Menurut Qutb, ayat ini adalah peringatan epistemologis: manusia yang kehilangan penglihatan bukan hanya buta secara fisik, tapi juga kehilangan arah moral dan kognitif. Namun, ketika Allah memberi manusia kemampuan akal dan teknologi, itu pun bagian dari rahmah (kasih sayang) Allah agar manusia berikhtiar mengobati kebutaannya.
“Jika Allah berkehendak, hilanglah daya penglihatan; tetapi karena kasih-Nya, manusia diberi ilmu untuk memperbaikinya.”
2.Muhammad Asad (The Message of the Qur’an)
Asad mengaitkan ayat ini dengan tanggung jawab moral atas nikmat penglihatan. Ia menulis bahwa walaupun kebutaan bisa menjadi ujian, usaha manusia untuk mengobatinya melalui sains dan teknologi merupakan bentuk rasa syukur yang nyata terhadap nikmat Allah.
“The divine warning is not to reject the faculty of sight, but to use human intellect to preserve and restore it.”
3.Quraish Shihab (Tafsir Al-Mishbah)
Quraish Shihab menafsirkan ayat ini secara kontekstual:
“Allah menggambarkan betapa mudah bagi-Nya untuk menghapuskan daya penglihatan. Namun, dengan rahmat-Nya, manusia diberi kemampuan menemukan obat, alat bantu, dan teknologi penglihatan. Semua itu bagian dari sunnatullah yang mengizinkan manusia berikhtiar.”
Beliau menekankan bahwa usaha medis seperti operasi katarak, transplantasi kornea, atau terapi genetik untuk kebutaan bukan bertentangan dengan takdir, tetapi justru bagian dari tafaqquh fi khalqillah — memahami ciptaan Allah melalui sains.
Keterkaitan dengan Etika Islam dan Ilmu Kedokteran
Ayat ini menggambarkan dua lapis makna:
1.Lapisan ontologis — penglihatan adalah karunia yang dapat diambil kapan saja oleh Sang Pencipta.
2.Lapisan aksiologis — ketika karunia itu hilang, manusia wajib berikhtiar mencari jalan pemulihan melalui ilmu pengetahuan, karena ikhtiar adalah bagian dari syukur dan tawakal.
Dalam Fiqh al-Tibb al-Islami (Etika Kedokteran Islam), mencari pengobatan (tadāwī) bagi gangguan mata atau kebutaan termasuk fardhu kifayah, sebab menjaga fungsi penglihatan termasuk bagian dari menjaga ḥifẓ al-nafs (perlindungan diri) dalam Maqāṣid al-Syarī‘ah.
Dalam konteks biologi dan oftalmologi modern, ayat ini bisa dipahami sebagai kesadaran bahwa hilangnya penglihatan tidak selalu berarti akhir fungsi, sebab Allah telah memberi manusia potensi akal untuk:
▪︎ Menciptakan kacamata dan lensa korektif,
▪︎ Mengembangkan operasi kornea dan retina buatan,
▪︎ Meneliti sel punca (stem cell therapy) untuk regenerasi saraf optik.
Semua itu adalah bentuk “kasih sayang Allah melalui ilmu.”
Dapat disimpulkan bahwa ayat ini tidak sekadar ancaman tentang hilangnya penglihatan, tetapi ajakan untuk menghargai dan memelihara anugerah mata dengan ilmu, teknologi, dan rasa syukur. Maka, ketika seseorang mengalami gangguan mata — bahkan yang bersifat permanen — usaha pengobatan, terapi, dan inovasi medis bukan menandingi kehendak Allah, melainkan menjalankan perintah-Nya untuk berikhtiar dalam kerangka sunnatullah.
“Barang siapa berobat dengan niat mencari kesembuhan dari Allah, maka ia berada di jalan syukur.”
(HR. Muslim, Kitab al-Salam)
Dan ketiga: Allah menutup renungan ini dengan pernyataan yang amat indah:
“Dan Dialah yang menciptakan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.”
(QS Al-Mu’minūn [23]: 78)
Tiga kata kunci dalam ayat ini — pendengaran, penglihatan, dan hati (qalb) — bukan hanya alat biologis, tetapi juga sarana epistemologis: jalan manusia mengenal dan memahami kebenaran.
Tafsir Klasik:
Al-Qurtubi menyebut bahwa urutan pendengaran, penglihatan, dan hati menunjukkan tahapan kesempurnaan manusia. Mata adalah sarana pengenalan terhadap dunia, namun tanpa hati (qalb) manusia tidak bisa menafsirkan makna di baliknya.
Tafsir Modern:
Quraish Shihab menyoroti aspek neurosains dalam ayat ini: otak sebagai pusat pemrosesan informasi adalah tempat bertemunya pendengaran (auditori), penglihatan (visual), dan hati (emosional-kognitif). Ayat ini dapat dibaca sebagai isyarat terhadap integrasi biologis dan spiritual dalam sistem persepsi manusia.
Penutup
Maka, ketika sains menjelaskan bahwa kornea bisa “bernapas” tanpa paru-paru, iman menjelaskan mengapa ia bisa demikian: karena setiap sel telah ditetapkan untuk berfungsi dalam harmoni yang sempurna. Tidak ada bagian tubuh yang bekerja tanpa perintah Tuhan.
Setiap kedipan mata bukan hanya refleks, tetapi dzikir biologis yang terus-menerus bertasbih dalam sistem ciptaan yang luar biasa.
Ilmu pengetahuan mungkin dapat menjelaskan bagaimana mata bekerja, tetapi hanya iman yang dapat menjelaskan mengapa ia bekerja begitu sempurna.
Daftar Pustaka
1.Guyton, Arthur C. Textbook of Medical Physiology. Philadelphia: Elsevier, 2016.
2.Watson, Donald S. Human Eye and Visual System. Academic Press, 2020.
3.Al-Qur’an al-Karim, QS Al-A‘rāf [7]:179; Asy-Syu‘arā’ [26]:66; Al-Mu’minūn [23]:78.
4.Rahman, F. Qur’anic View of Human Senses. Journal of Islamic Science, Vol. 12 (2021).
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب
