
Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
Abstrak
INDRAMAYU — Artikel ini membahas makna gravitasi dalam perspektif ilmiah dan metafisik dengan mengaitkannya pada ayat Al-Qur’an “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri” (QS. Fussilat [41]: 53). Melalui lensa relativitas umum Einstein, gravitasi dipahami bukan lagi sebagai gaya mekanis, melainkan sebagai ekspresi kelengkungan ruang-waktu akibat kehadiran massa-energi. Pandangan ini membuka jembatan konseptual antara fisika modern dan metafisika Islam, di mana “tanda-tanda di ufuk” dapat ditafsirkan sebagai struktur keteraturan kosmik yang menyingkap jejak ketergantungan ontologis antara ciptaan dan Sang Pencipta.
Pendahuluan: Ayat Kosmik dalam Perspektif Modern
Al-Qur’an menyatakan:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar.” (QS. Fussilat [41]: 53)
Ayat ini sering dipahami sebagai pernyataan epistemologis tentang bagaimana manusia dapat mengenali kebenaran melalui dua jalur: kosmologis (fī al-āfāq) dan psikologis/antropologis (fī anfusihim).
Dalam konteks sains modern, “ayat-ayat di ufuk” tidak hanya menunjuk kepada langit dan bintang, tetapi juga pada struktur hukum alam yang mengatur keteraturan kosmos, termasuk fenomena gravitasi.
Dari Newton ke Einstein: Evolusi Pemahaman tentang Gravitasi
Dalam mekanika Newton, gravitasi dianggap sebagai gaya tarik-menarik antara dua benda bermassa. Gaya ini bersifat instan, bekerja melalui ruang kosong, dan menjelaskan banyak fenomena dengan akurasi tinggi — dari jatuhnya apel hingga orbit planet.
Namun, teori Relativitas Umum yang diajukan Einstein pada 1915 merevolusi pemahaman tersebut. Einstein menolak gagasan tentang gaya yang bekerja “melalui ruang kosong”, dan menggantinya dengan model ruang-waktu dinamis. Menurutnya:
“Gravitasi bukanlah gaya, tetapi manifestasi dari kelengkungan ruang-waktu yang disebabkan oleh massa dan energi.”
Artinya, materi mengubah geometri ruang, dan ruang mengatur gerak materi.
Bumi tidak ditarik oleh Matahari, melainkan bergerak mengikuti lekukan ruang-waktu yang dibentuk oleh massa Matahari.
Dengan demikian, gravitasi bukan lagi entitas eksternal yang bekerja “dari luar”, melainkan relasi ontologis antara materi dan ruang itu sendiri.
Gravitasi sebagai Jembatan Metafisik antara Materi dan Ruang
Jika kita memandang alam semesta bukan sebagai kumpulan benda-benda terpisah, tetapi sebagai sistem yang terhubung melalui jalinan ruang-waktu, maka gravitasi berfungsi sebagai “jembatan metafisik” antara dua ranah:
▪︎ Ruang, sebagai wadah eksistensi,
▪︎ Materi, sebagai wujud konkret keberadaan.
Tanpa gravitasi, ruang dan materi akan kehilangan hubungan ontologisnya. Ruang akan menjadi kosong tanpa struktur, dan materi akan mengapung tanpa arah.
Namun melalui gravitasi, keduanya bersatu dalam harmoni eksistensial yang membentuk keteraturan kosmos.
Dalam istilah filsafat Islam, hal ini dapat dipahami sebagai ta‘alluq (keterikatan) antara al-mawjūd (yang ada) dan makān (wadah keberadaannya). Gravitasi menjadi sunnatullah — hukum yang menegakkan keterhubungan antara ciptaan, sebagaimana ayat-ayat di ufuk menunjukkan keteraturan yang berasal dari Sumber Tunggal.
Isyarat Gravitasi dalam Al-Qur’an
Beberapa ayat Al-Qur’an secara menarik menggambarkan fenomena yang selaras dengan konsep gravitasi dan keteraturan kosmos:
1.QS Al-Baqarah (2): 74
“…dan di antara batu-batu itu sungguh ada yang jatuh karena takut kepada Allah…”
Ayat ini mengandung isyarat bahwa gerak jatuh — akibat gaya tarik bumi — merupakan tanda ketaatan makhluk terhadap hukum yang ditetapkan Allah di alam semesta.
2.QS Al-Hajj (22): 65
“Tidakkah engkau memperhatikan bahwa Allah menundukkan untukmu apa yang di bumi dan di langit, serta menahan langit jatuh ke bumi kecuali dengan izin-Nya?”
Penahanan langit agar tidak jatuh dapat dimaknai secara ilmiah sebagai sistem keseimbangan gravitasi antar benda langit — orbit-orbit yang stabil karena hukum fisika yang menjadi manifestasi perintah Ilahi.
3.QS Maryam (19): 25
“Dan goyanglah pangkal pohon kurma ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.”
Fenomena buah jatuh akibat guncangan memperlihatkan hukum gravitasi sebagai bagian dari sistem sebab-akibat yang teratur dalam ciptaan Allah.
4.QS Ghafir (40): 64
“Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu sebagai tempat menetap…”
Frasa qarāran (tempat menetap) mengandung makna stabilitas gravitasi yang menjaga agar segala yang hidup tetap berpijak di permukaan bumi dan tidak terlempar ke luar angkasa.
Sanurīhim Āyātinā fī al-Āfāq: Membaca Ayat Kosmos dalam Cahaya Relativitas
Ketika Al-Qur’an menyatakan “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di ufuk-ufuk,” kata al-āfāq (ufuk) dapat dibaca bukan hanya dalam makna geografis (cakrawala), tetapi juga kosmologis dan struktural — mencakup ruang, waktu, energi, dan hukum-hukum yang menegakkan keseimbangan alam.
Dalam konteks gravitasi:
Kelengkungan ruang-waktu dapat dipandang sebagai āyah (tanda) yang menunjukkan adanya sistem keteraturan ilahiah.
Interaksi antara massa dan ruang menyingkap sunnatullah yang tak kasatmata, namun dapat diukur secara empiris.
Dengan demikian, pemahaman gravitasi menurut Einstein bukanlah kontradiksi terhadap wahyu, melainkan justru pembacaan ilmiah terhadap ayat-ayat di ufuk yang dijanjikan Allah akan diperlihatkan kepada manusia.
Jejak Spiritual dalam Struktur Kosmos
Secara metafisik, gravitasi menandai ketergantungan ontologis antara ciptaan dan ruang eksistensinya — seperti halnya makhluk yang bergantung pada hukum-hukum Tuhan untuk tetap eksis.
Sebagaimana tidak ada materi tanpa ruang, demikian pula tidak ada keberadaan tanpa wadah keberaturan yang ditetapkan-Nya.
Dalam bahasa tasawuf, realitas seperti ini menggambarkan tajallī (penampakan) sifat Allah dalam ciptaan-Nya: kekuasaan-Nya tampak bukan melalui intervensi langsung, tetapi melalui sistem keteraturan yang memelihara seluruh kosmos secara terus-menerus.
Gravitasi, dengan demikian, dapat dimaknai sebagai manifestasi rahmah Ilahiyah yang menjaga agar semesta tetap terikat dan stabil.
Kesimpulan
Gravitasi bukan sekadar gaya fisik, melainkan relasi ontologis yang mempertautkan materi dengan ruang, eksistensi dengan wadahnya. Dalam kerangka Relativitas Umum, gravitasi menjadi bahasa ilmiah yang menyingkap makna terdalam dari ayat “Sanurīhim āyātinā fī al-āfāq” — tanda-tanda yang tampak di ufuk kosmos, menunjukkan bahwa keteraturan semesta adalah cerminan kebenaran ilahiah.
Dengan demikian, antara Einstein dan Al-Qur’an terdapat ruang dialog epistemik yang subur: keduanya sama-sama mengajarkan bahwa realitas tidak hanya fisik, tetapi juga memiliki kedalaman makna metafisik yang menghubungkan yang tampak dan yang gaib, yang terukur dan yang bermakna.
Daftar Pustaka
1.Einstein, A. (1916). The Foundation of the General Theory of Relativity. Annalen der Physik.
2.Hawking, S. (1988). A Brief History of Time. New York: Bantam.
3.Ibn Sina. Al-Isharat wa al-Tanbihat.
4.Nasr, Seyyed Hossein. Religion and the Order of Nature. Oxford University Press, 1996.
5.Tafsir al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Tafsir QS. Fussilat:53.
6.Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Bab tentang Tafakkur.
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب