
Oleh: Suhaeli Nawawi, Pembina YWI
1.Pendahuluan: Antara Rasionalitas dan Transendensi
INDRAMAYU — Perdebatan tentang hubungan antara akal dan alam selalu menjadi jantung dari filsafat pengetahuan. Sebagian kalangan melihat keteraturan kosmos sebagai bukti adanya Arsitek Agung, Tuhan yang menanamkan rasionalitas ke dalam struktur semesta dan akal manusia. Namun, sebagian lain menilai bahwa kesadaran dan keteraturan itu adalah sifat alam itu sendiri—bukan hasil dari intervensi eksternal.
Pandangan kedua ini, seperti yang diuraikan oleh Prajna Sin Hoa dalam tulisannya “Akal dan Alam: Satu Kesadaran yang Berpikir Sendiri”, berangkat dari gagasan bahwa realitas tidak memerlukan Tuhan sebagai “penyebab pertama”. Alam semesta, menurutnya, berpikir melalui manusia. Kesadaran adalah proses kosmos mengenali dirinya sendiri. Tuhan, jika disebut, hanyalah nama lain dari hukum keterhubungan universal.
Namun, gagasan tersebut, meskipun filosofis dan elegan, mengandung persoalan yang lebih dalam ketika dilihat dari pandangan ilmiah modern—khususnya dari skala kuantum dan teologi Islam.
“Akal manusia memiliki dua wajah: yang satu menghadap ke bumi, dan yang lain menghadap ke langit.”
— Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (1930)
2.Determinisme, Probabilisme, dan Delusi Sebab-Akibat
Tulisan Prajna berakar pada apa yang dapat disebut sebagai madzhab sebab-akibat deterministik, yakni keyakinan bahwa segala sesuatu muncul karena rangkaian sebab dan kondisi yang tak memerlukan pengatur eksternal. Pandangan ini memiliki sejarah panjang dalam tradisi rasionalisme Barat, dari Spinoza hingga Einstein, yang menyatakan bahwa “Tuhan tidak bermain dadu.”
“I, at any rate, am convinced that He does not play dice.”
— Albert Einstein, Letter to Max Born, December 4, 1926
Namun, fisika kuantum mengguncang keyakinan itu. Di skala subatomik, hukum sebab-akibat klasik tidak lagi berlaku mutlak. Werner Heisenberg dalam tulisannya Physics and Philosophy (1958) menyebutkan bahwa “apa yang kita amati bukanlah realitas itu sendiri, tetapi realitas yang terpapar oleh cara kita bertanya.” Hal ini menandakan bahwa observasi manusia tidak netral; kesadaran ikut menentukan keadaan sistem.
Fenomena seperti entanglement (keterikatan kuantum) menunjukkan bahwa dua partikel bisa saling memengaruhi secara instan melampaui ruang-waktu—melanggar intuisi deterministik Newtonian. John Bell (1964) menegaskan bahwa “entanglement adalah bukti bahwa dunia lebih terhubung daripada yang dibayangkan mekanika klasik.”
Pertanyaannya kemudian muncul:
Bagaimana mungkin dari ketidakpastian kuantum muncul keteraturan makroskopik yang kita sebut hukum alam?
Sains menyebut proses ini sebagai emergensi—keteraturan yang muncul dari kompleksitas sistem. Nobel laureate Ilya Prigogine menjelaskan, “Ketidakteraturan justru adalah asal dari keteraturan baru; kehidupan sendiri lahir dari fluktuasi” (Order Out of Chaos, 1984).
Namun, emergensi hanya menjelaskan bagaimana keteraturan muncul, bukan mengapa keteraturan itu mungkin terjadi. Di sinilah filsafat dan teologi bertemu—bukan dalam dogma, melainkan dalam kesadaran akan keterbatasan pengetahuan manusia.
3.Dari Ketidakpastian ke Kepastian: Menyentuh Makna “Kun Fayakūn”
Dalam pandangan Islam, transisi dari “ketiadaan” menuju “keberadaan” bukanlah peristiwa mekanistik, melainkan ekspresi dari kehendak ilahi yang absolut.
“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ maka jadilah ia.”
(QS Yā Sīn [36]: 82)
Tafsir klasik seperti al-Ṭabarī dan al-Rāzī memaknai ayat ini bukan sebagai perintah verbal, melainkan simbolisasi dari kekuasaan tanpa perantara. Al-Rāzī menulis: “Makna ‘Kun’ bukanlah suara yang terdengar, tetapi isyarat bahwa segala sesuatu bergantung pada kehendak Allah tanpa waktu dan medium.” (Mafātīḥ al-Ghayb, jilid 26, hlm. 131)
Sedangkan tafsir modern, seperti Sayyid Qutb dalam Fī Ẓilāl al-Qur’ān, menyatakan bahwa “Kun fayakūn menggambarkan hukum eksistensi universal: dari ketiadaan menuju keberadaan di bawah sistem yang tunduk pada sunnatullah.” Dengan kata lain, hukum alam adalah pengejawantahan dari “perintah” tersebut.
Maka, pernyataan “alam semesta berpikir sendiri” menjadi problematis. Sebab, di tingkat paling fundamental, alam tidak “berpikir”, melainkan “dipikirkan menjadi” melalui hukum-hukum yang memungkinkan eksistensinya. Dalam konteks teistik, hukum itu sendiri adalah manifestasi kehendak ilahi yang telah diinstitusikan dalam struktur kosmos.
“Nature is nothing but the customary way of God’s action.”
— Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah (11th century)
4.Ilusi Ketidakterbatasan Akal dan “Delusi Sebab-Akibat”
Kemampuan manusia untuk mempertanyakan “siapa yang menciptakan Tuhan” memang menandakan keluhuran akal. Namun, di sisi lain, ia juga menyingkap paradoks epistemologis: bahwa akal mencoba menerapkan hukum sebab-akibat—yang hanya berlaku di dalam ruang-waktu—kepada realitas yang berada di luar ruang-waktu.
Dalam teologi Islam klasik, Ibn Taymiyyah menyatakan: “Hukum sebab-akibat berlaku pada makhluk, bukan pada Khaliq; menanyakan sebab bagi Allah adalah bentuk ketidaktahuan terhadap makna ketuhanan.” (Majmū‘ al-Fatāwā, jilid 8, hlm. 90)
Hal ini sejalan dengan temuan modern dalam filsafat ilmu. Karl Popper mengingatkan bahwa “penjelasan ilmiah tidak dapat mengatasi seluruh realitas; ia hanya bekerja di dalam batas pengujian empiris.” (The Logic of Scientific Discovery, 1959)
Dengan demikian, keinginan untuk meniadakan Tuhan dengan logika sebab-akibat justru menimbulkan delusi ateistik: keyakinan bahwa keterbatasan hukum fisik mampu menjelaskan asal hukum itu sendiri.
5.Sintesis: Akal, Alam, dan Kesadaran Ilahi
Jika disintesiskan, maka dapat dikatakan:
Pandangan Prajna Sin Hoa menegaskan kesadaran sebagai proses imanen alam semesta.
Pandangan teistik menegaskan kesadaran sebagai pantulan transenden dari kehendak ilahi.
Keduanya bisa dipertemukan melalui konsep kesadaran kosmik dalam sains dan teologi modern. Dalam Islam, konsep ini sejalan dengan pandangan bahwa seluruh ciptaan memiliki bentuk kesadaran intrinsik:
“Tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak memahami tasbih mereka.”
(QS al-Isrā’ [17]: 44)
Sayyid Husein Nasr, dalam Knowledge and the Sacred (1981), menulis bahwa “setiap atom adalah saksi dari kesadaran ilahi; sains modern telah lupa bahwa keteraturan adalah cermin spiritualitas.”
Artinya, keteraturan dan kesadaran bukan sekadar fenomena material, melainkan ekspresi dari realitas yang lebih tinggi. Tuhan tidak perlu “turun tangan” setiap saat, sebab keteraturan itu sendiri adalah tangan-Nya yang tersembunyi dalam hukum-hukum semesta.
6.Penutup: Dari Filsafat ke Iman yang Reflektif
Akal dan alam memang tidak berdiri paralel. Keduanya adalah cerminan dari satu realitas yang sama: kesadaran ilahi yang menampakkan diri dalam bentuk hukum dan keteraturan. Perbedaan antara teistik dan ateistik bukan terletak pada hasil pengamatan empiris, melainkan pada cara memahami sumber hukum itu sendiri.
Ketika Prajna mengatakan “alam berpikir sendiri”, dan teolog mengatakan “Tuhan berpikir melalui alam”, sesungguhnya keduanya sedang berbicara tentang hal yang sama — hanya berbeda titik pandang: yang satu dari dalam sistem, yang lain dari luar sistem.
Dalam kesadaran tertinggi, keduanya melebur dalam satu ungkapan metafisis:
“Kun fayakūn” — hukum alam adalah manifestasi dari Kehendak yang tak berawal.
“Science without religion is lame, religion without science is blind.”
— Albert Einstein, 1941
Akhir kalam, والله اعلم بالصواب