
Oleh: Suhaeli Nawawi
Abstrak
INDRAMAYU — Perkembangan kosmologi modern membawa manusia pada pertanyaan yang kian menyerupai ranah metafisika: mungkinkah ruang dibelah? Dapatkah manusia menembus batas semesta melalui wormhole? Apakah multiverse sekadar spekulasi matematis atau mungkin realitas trans-fisik? Artikel ini mencoba mengelaborasi konsep wormhole dan multiverse dalam fisika teoretis dan mengaitkannya dengan doktrin teologis Islam tentang tujuh langit berlapis-lapis (sab‘ samāwāt). Dengan pendekatan komparatif antara tafsir klasik dan teori ruang-waktu, tulisan ini menunjukkan bahwa meskipun sains dan wahyu memiliki kerangka ontologis berbeda, keduanya sama-sama mengafirmasi keterbatasan persepsi manusia terhadap dimensi semesta.
Pendahuluan
Pertanyaan manusia tentang “apa yang ada di luar sana?” telah bergeser dari mitos ke mekanika, dari dogma ke diferensial. Dalam beberapa dekade terakhir, istilah seperti wormhole, dimensi tambahan, dan multiverse menjadi bagian dari diskursus fisika teoretis. Di sisi lain, dalam narasi keagamaan, khususnya Islam, dikenal konsep langit berlapis-lapis — yang menggambarkan struktur kosmos secara vertikal dan hierarkis. Pertanyaan yang muncul: adakah jembatan konseptual yang mungkin mengaitkan dua kerangka berpikir ini?
I. Wormhole dan Ruang yang Dibelah
Dalam Teori Relativitas Umum Einstein, ruang dan waktu bukan latar pasif, melainkan fabric yang dapat melengkung akibat massa dan energi. Salah satu solusi dari persamaan medan Einstein adalah struktur bernama Einstein-Rosen bridge, atau wormhole — sebuah tunnel hipotetik yang menghubungkan dua titik ruang-waktu. Namun, agar wormhole stabil, dibutuhkan materi eksotik (exotic matter) yang belum terbukti keberadaannya.[^1]
Kemungkinan wormhole menghubungkan tidak hanya ruang yang berbeda dalam satu semesta, tetapi juga semesta berbeda, memberi ruang bagi teori multiverse. Di sinilah sains modern bersentuhan dengan gagasan ‘semesta lain’ yang dalam tradisi keagamaan bisa diparalelkan dengan alam ghaib atau bahkan langit bertingkat.
[^1]: Morris, Michael, Kip Thorne, and Ulvi Yurtsever. “Wormholes, Time Machines, and the Weak Energy Condition.” Physical Review Letters 61, no. 13 (1988): 1446.
II. Multiverse dan Ruang Lapisan
Teori inflasi kosmik dan mekanika kuantum memberikan landasan kepada hipotesis multiverse. Salah satu variannya adalah bubble universe — semesta kita hanyalah satu gelembung dalam lautan ruang yang lebih besar, seperti bola dalam bola, lapis dalam lapis. Gagasan ini dapat ditelusuri pada model eternal inflation oleh Andrei Linde.[^2]
[^2]: Linde, Andrei. “Eternal Inflation and the Theory of Everything.” In Inflationary Cosmology and Structure Formation. Springer, 1990.
Secara visual, ini menyerupai struktur bertingkat — suatu model yang secara mengejutkan sejalan dengan deskripsi Qur’ani tentang tujuh langit berlapis-lapis (QS Al-Mulk: 3; QS Nuh: 15). Dalam beberapa tafsir klasik seperti al-Tabari dan al-Razi, tujuh langit dianggap bukan hanya simbolik, tapi juga literal, dan dipahami secara berlapis seperti lapisan cebung yang saling menaungi.[^3]
[^3]: Al-Razi, Fakhr al-Din. Tafsir al-Kabir. Kairo: Dar al-Fikr, jilid 30.
III. Tujuh Langit sebagai Geometri Vertikal
Konsep sab‘ samāwāt dalam Al-Qur’an mengandung kesan hierarki dan kedalaman kosmik. Dalam Surah Al-Mulk:3 disebutkan: “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis (ṭibāqan).” Kata ṭibāqan berasal dari akar kata yang berarti ‘bertumpuk serasi’, seperti lapisan geometri bola di dalam bola.
Beberapa tafsir modern menginterpretasikan ṭibāqan ini sebagai isyarat terhadap dimensi atau tingkat realitas yang berbeda — bukan hanya jarak fisik, tetapi juga tingkat eksistensial. Jika dipadukan dengan gagasan extra dimensions dalam teori string atau brane cosmology, maka langit sebagai lapisan ruang bisa menjadi metafora saintifik yang potensial.
IV. Penyeberangan Dimensi: Dari Isra’ Mi’raj ke Hipotesis Fisika
Kisah perjalanan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad ﷺ sering ditafsirkan sebagai perlintasan dimensi ruang dan waktu. Dalam hadits-hadits shahih, digambarkan Rasulullah ﷺ naik melintasi lapis-lapis langit, bertemu nabi-nabi sebelumnya di masing-masing lapisan. Jika dibaca dalam kerangka modern, ini menyerupai transdimensional travel yang dibayangkan oleh fisikawan sebagai perjalanan melalui wormhole. Tentu, peristiwa Mi’raj bersifat mujizat — bukan fenomena fisik biasa — tetapi bukan berarti tidak membuka ruang untuk spekulasi ilmiah tentang kemungkinan ruang berlapis yang bisa ditembus.
Simpulan
Walau sains dan teologi berdiri di atas metodologi berbeda — satu rasional-empiris, satu wahyu-transendental — keduanya menunjukkan bahwa realitas tidak sesederhana ruang tiga dimensi dan waktu linear. Wormhole, multiverse, dan tujuh langit berlapis adalah simbol akan luasnya realitas yang belum tergapai. Penjelajahan terhadap keduanya, jika dilakukan dengan kerendahan hati dan kehati-hatian metodologis, akan memperkaya wawasan manusia — baik tentang semesta, maupun tentang dirinya sendiri sebagai makhluk penjelajah ruang dan pencari makna.
Daftar Pustaka: …