INDRAMAYU — Bagian 5
BAB IV: Rekonstruksi Makna Agama dan Spiritualitas dalam Cahaya Sains Murni
4.1. Jalan Tengah antara Teisme dan Ateisme
Wacana kontemporer tentang spiritualitas non-teistik sesungguhnya menyingkap adanya kekosongan metafisis dalam kehidupan modern. Di satu sisi, ateisme radikal—seperti yang dicontohkan oleh Richard Dawkins dan Sam Harris—berupaya menyingkirkan semua bentuk religiositas yang bertumpu pada keimanan kepada entitas transenden. Di sisi lain, spiritualitas yang sepenuhnya imanen seringkali jatuh dalam bentuk estetika kosmik tanpa etika transendental.
Dalam hal ini, dibutuhkan sebuah jalan tengah: tidak sekadar mempertahankan teisme tradisional secara dogmatis, namun juga tidak menihilkan kebutuhan manusia akan makna transenden. Jalan tengah ini dapat ditemukan dalam penafsiran ulang konsep Dzat dalam cahaya penemuan sains murni. Fisika kuantum, dengan prinsip-prinsipnya yang tidak-deterministik dan non-lokal, justru menunjukkan bahwa realitas tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh materi saja. Sebagaimana ditegaskan oleh Werner Heisenberg:
“What we observe is not nature itself, but nature exposed to our method of questioning.”¹
Dengan demikian, keberadaan Dzat sebagai prinsip metafisik absolut tetap relevan dalam kerangka sains modern—selama dipahami secara transrasional, bukan anti-rasional.
4.2. Kesadaran sebagai Titik Singgung antara Sains dan Spiritualitas
Kesadaran manusia menjadi jembatan antara realitas empiris dan metafisis. Dalam filsafat pikiran, David Chalmers membedakan antara easy problem dan hard problem dalam studi kesadaran.² Masalah “mudah” mencakup bagaimana otak memproses informasi, sedangkan masalah “sulit” adalah mengapa pengalaman subjektif (qualia) bisa muncul dari aktivitas material. Inilah titik lemah utama dari spiritualitas Zat: ia tidak mampu menjelaskan mengapa hukum alam yang impersonal dapat melahirkan pengalaman spiritual yang intim dan penuh makna.
Sebaliknya, konsep Dzat memberikan ruang untuk menjelaskan kesadaran sebagai pantulan dari kesadaran mutlak. Dalam pandangan ini, manusia tidak hanya “produk” alam, tetapi juga “pengemban” sifat Ilahiah, sebagaimana tercermin dalam QS Asy-Syams:7-8 dan QS Al-Baqarah:30, yang menegaskan bahwa manusia dianugerahi fitrah moral dan kehendak.
4.3. Spiritualitas Transformatif: Kembali kepada Dzat tanpa Menolak Ilmu
Spiritualitas sejati bukanlah sekadar kontemplasi terhadap keindahan semesta, melainkan transformasi batin yang menghubungkan manusia dengan asal dan tujuannya. Spiritualitas semacam ini tidak menolak hukum alam, tetapi menempatkannya dalam posisi sebagai “ayât”—tanda-tanda dari Dzat, sebagaimana ditegaskan dalam QS Fussilat:53:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (keberadaan Kami) di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, hingga jelaslah bagi mereka bahwa sesungguhnya Dia-lah Yang Haq.”
Dengan kerangka ini, sains murni bukanlah ancaman bagi keimanan, melainkan jalan untuk menyaksikan kesatuan antara hukum alam dan kebijaksanaan Ilahi. Spiritualitas bukan tentang melarikan diri dari realitas empiris, tetapi menyingkap makna terdalam dari realitas itu sendiri.
4.4. Penutup: Menghidupkan Kembali Spiritualitas Berbasis Dzat
Dalam dunia yang semakin didikte oleh data, teknologi, dan saintisme, manusia sangat rentan kehilangan arah transenden. Kehausan spiritual justru meningkat, namun sering kali diarahkan pada bentuk-bentuk spiritualitas yang tidak utuh dan bersandar pada Zat semata.
Tulisan ini mengusulkan agar makna spiritualitas dikembalikan kepada akar metafisiknya: Dzat yang transenden, bukan semata-mata keteraturan material. Dengan membedakan antara spiritualitas Dzat dan spiritualitas Zat, kita dapat membangun kembali wacana agama dan sains yang lebih seimbang: mengakui batas-batas pengetahuan ilmiah, namun tetap membuka ruang untuk keimanan yang tercerahkan
