INDRAMAYU — Kata pengantar oleh : Suhaeli Nawawi
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, yang telah menganugerahkan kepada manusia kemampuan berpikir, merasa, dan menyadari hakikat keberadaan. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, utusan yang membawa cahaya ilmu dan kebenaran kepada seluruh umat manusia.
Tulisan ini lahir dari keprihatinan sekaligus refleksi terhadap berkembangnya kerancuan makna dalam ranah keagamaan dan ilmiah. Pertanyaan mendasar seperti “Apakah mungkin ada agama tanpa Tuhan?” menjadi titik tolak untuk menggali akar-akar filsafat spiritualitas dan keberagamaan dalam konteks kosmologi modern, ateisme, dan kesadaran manusia.
Salah satu arus balik pemikiran kontemporer adalah kembalinya perhatian terhadap spiritualitas, meskipun tidak selalu dalam bingkai teistik. Dalam konteks ini, spiritualitas yang bersumber dari keyakinan kepada entitas transenden yang personal (spiritualitas Dzat) tampak mengalami pergeseran menjadi kepercayaan kepada keteraturan hukum alam (spiritualitas Zat), yang dipandang sebagai sumber realitas material.
Sains murni—terutama fisika kuantum—memegang posisi penting dalam wacana ini. Berbeda dari saintisme yang dogmatis dan menolak realitas transenden, sains sejati justru membuka ruang untuk merenungkan kembali pertanyaan-pertanyaan terdalam tentang asal-usul, kesadaran, dan makna keberadaan. Temuan dalam fisika kuantum tentang ketakterpisahan, ketidakpastian, dan keterkaitan antara subjek dan objek menunjukkan bahwa realitas jauh lebih kompleks daripada yang dibayangkan dalam paradigma mekanistik.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memperluas cakrawala berpikir tentang hubungan antara agama, sains, dan spiritualitas dalam konteks dunia yang terus berubah.
ABSTRAK
Tulisan ini membahas secara interdisipliner pertanyaan provokatif: apakah agama tanpa Tuhan masih dapat disebut sebagai agama? Dengan menelaah pandangan dari ateisme, agnostisisme, panteisme, serta bentuk agama non-teistik seperti Buddhisme dan Jainisme, kajian ini mengupas pergeseran spiritualitas dari keyakinan kepada Dzat yang transenden ke arah kepercayaan terhadap Zat atau hukum alam yang imanen.
Perbedaan mendasar antara spiritualitas Dzat—yakni iman kepada entitas personal transenden—dengan spiritualitas Zat—yakni penghormatan kepada tatanan kosmik tanpa Tuhan personal—menjadi titik krusial pembahasan. Tulisan ini juga memperkenalkan posisi sains murni (bukan saintisme) dalam menjembatani perdebatan antara iman dan ateisme. Melalui pendekatan kosmologi, filsafat kesadaran, dan fisika kuantum, ditemukan bahwa sains murni justru membuka ruang bagi pencarian spiritual yang mendalam, bukan menutupnya.
Tujuan utama tulisan ini adalah merumuskan kembali makna agama dan spiritualitas dalam lanskap modern, serta mengungkap bahwa ketundukan pada hukum alam sebagai “entitas sakral” tanpa kepribadian tetap menyisakan paradoks filosofis dan eksistensial.
Kata Kunci: agama tanpa Tuhan, spiritualitas, Dzat, Zat, sains murni, fisika kuantum, ateisme, non-teisme
PENDAHULUAN
Pertanyaan mengenai kemungkinan adanya agama tanpa Tuhan telah menjadi bahan perdebatan yang memunculkan berbagai konsekuensi teologis, filosofis, dan sosiologis. Dalam konteks modern, pertanyaan ini tidak dapat dilepaskan dari krisis spiritualitas yang melanda masyarakat pascamodern, di mana keterputusan dari iman kepada Tuhan personal digantikan oleh ketundukan kepada tatanan alam atau hukum-hukum fisik yang dianggap “suci”.
Kebangkitan spiritualitas non-teistik ini tidak muncul dalam ruang hampa. Dalam beberapa sistem kepercayaan seperti Buddhisme, Jainisme, dan bahkan dalam bentuk modern Humanisme, kehadiran Tuhan personal tidak menjadi landasan utama etika atau kehidupan religius. Namun demikian, fenomena ini menimbulkan pertanyaan lanjutan: jika agama tidak lagi berpusat pada Tuhan, lantas kepada apa manusia bertumpu?
Untuk menjawabnya, diperlukan pembedaan konseptual antara dua bentuk spiritualitas:
Spiritualitas Dzat, yakni keimanan kepada Tuhan yang berdiri sendiri (qayyum), transenden, dan personal.
Spiritualitas Zat, yakni penghormatan terhadap hukum alam sebagai kekuatan yang bekerja otomatis, impersonal, dan inheren dalam semesta.
Perbedaan ini penting karena menyangkut paradigma metafisik yang sangat kontras. Dzat (dengan huruf ‘D’) merujuk pada hakikat eksistensial yang mandiri dan menjadi sumber segala sesuatu, sedangkan zat (dengan huruf ‘z’) mengacu pada substansi material yang memiliki massa dan menempati ruang. Zat (huruf kapital Z) dalam konteks spiritualitas merujuk pada hukum alam yang mengatur materi, namun tetap bersifat impersonal.
Di sinilah posisi sains murni perlu ditegaskan. Sains murni sebagai metode, terutama dalam fisika kuantum, telah menunjukkan bahwa realitas tidak sepenuhnya deterministik dan mekanistik. Fenomena seperti ketidaktentuan (uncertainty), keterkaitan non-lokal (entanglement), dan pengaruh pengamat (observer effect) membuka kemungkinan bagi penafsiran metafisik baru yang tidak reduksionis. Sebaliknya, saintisme justru menghambat pemahaman spiritual dengan menyamakan metode ilmiah sebagai satu-satunya jalan kebenaran.
Tulisan ini akan menelusuri lebih jauh bagaimana krisis spiritualitas, peran sains murni, serta perubahan makna Dzat dan Zat membentuk ulang diskursus tentang agama dan eksistensi. Apakah spiritualitas dapat hidup tanpa Tuhan, dan jika ya, apakah ia masih menyisakan makna yang utuh?
BERSAMBUNG
